KH. Dr. Jalaluddin Rakhmat
Ketua Dewan Syura IJABI
Ketua Dewan Syura IJABI
“Aku tidak meninggalkan Madinah karena ingin merebut kekuasaan atau ingin menyombongkan diri. Aku tidak meninggalkan Madinah untuk menimbulkan kerusakan dan melakukan kezaliman. Aku berangkat untuk memperbaiki agama kakekku yang sudah disimpangkan orang. Aku ingin memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaran.
Pada suatu dini hari di alam nasut, dalam perjalanan mi’raj di malam kudus, Al-Mushtafa sampai ke alam jabarut. Batas ruang dan waktu membaur menyabur. Pada alam “qaaba qawsaini aw adnaa”, pada jarak dua busur panah bahkan lebih dekat lagi, Al-Mushtafa bersimpuh dalam balutan Cahaya langit dan bumi. Ia tenggelam jauh menukik ke dasar samudra ketunggalan Ilahi. Ia hanya setetes embun yang bergabung dengan gelombang lautan kasih sayang rabbani.
Dari kemilau cahaya yang mengalir dari alam lahut bergetar suara penuh cinta:
“Allah yang Mahamulia dan Mahatinggi akan menguji kamu dengan tiga ujian. Bersediakah kamu bersabar menanggungnya. Kaifa Shabruk?”
Kaifa Shabruk… Kaifa Shabruk… Kaifa Shabruk?
Seluruh alam semesta, seluruh galaksi, seluruh gemintang, seluruh planet menggemakan firman Tuhan. Sejak butir-butir pasir yang terhampar di sahara yang tak terkira, sampai tata-tata surya yang menyebar di galaksi-galaksi yang tak terhingga, semua berkata yang sama:
Kaifa Shabruk… Kaifa Shabruk… Kaifa Shabruk?
Seperti Musa yang jatuh tersungkur ketika tajalliat Tuhan membuat bukit hancur, satu tetes embun mencuat dari tengah- tengah gelombang dan jatuh melebur. Dialah Manusia Pilihan, yang diutus Tuhan untuk menjadi ungkapan kasih rahmani ke seluruh alam. Firman itu turun seperti sinar yang diterangkan, pada kitab yang dituliskan, untuk Nabi yang dibahagiakan. Anzalan nuur. Fi kitaabim masthuur ‘alan Nabiyim mahbuur. Dengan suara parau, dalam kerendahan diri penuh kepasrahan, al-Mushtafa berkata:
“Aku serahkan diriku sepenuhnya pada amar-Mu, duhai Tuhanku. Aku tidak akan sanggup bersabar kecuali dengan kekuatan-Mu. Gerangan apakah tiga ujian itu?”
Pertama,
Kamu akan diuji dengan perasaan lapar, tapi kau dahulukan orang-orang yang dirundung kemalangan.
Bersamaan dengan itu, Tuhan membukakan satu pintu di masa depan.
Di padang rumput Madinah, Al-Mushtafa memilah-milah ratusan kambing sepenuh lapang. Dengan ceria dan senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya, ia bagikan seekor demi seekor kepada fakir miskin. Dalam keadaan kelelahan dan kelaparan, ia bertanya kepada istrinya, “Adakah makanan bagiku?” Ketika istrinya berkata tidak, Al-Mushtafa berkata: Kalau begitu, aku akan berpuasa. Fa inni Shaa-im!
Berhari-hari dapurnya tidak menyala. Ketika hidangan makanan akhirnya datang, dengan tangannya sendiri ia hampiri kaum miskin pendatang, yang bernaung di bawah beranda masjidnya. Ia tidak lagi peduli dengan perutnya sendiri. Senyum kebahagiaan karena melihat sahabatnya kenyang menghilangkan semua keperihan perutnya.
Di depan Ka’bah, ketika ia turun dari bukit, ia sampaikan amar Tuhan:
“Mengapa ia tidak menaiki bukit yang terjal; tahukah kamu apa bukit yang terjal itu. Kamu bebaskan perbudakan, kamu bagikan makanan pada hari kelaparan, kepada anak yatim dari keluarga dekatmu, dan orang miskin yang bergelimang debu.”
Maka hari itu, Sang Nabi mengumpulkan sahabatnya, menanamkan benih korma dengan tangannya sendiri, diikuti oleh sahabat-sahabatnya yang setia, membuka kebun kurma. Dari hasil perkebunan itu, seorang budak bertubuh tinggi melonjak gembira. Salman menjadi manusia merdeka, setelah berpuluh tahun dipasung sebagai hamba.
Pada hari yang lain, serombongan orang Badawi datang dari sahara, dengan pakaian yang kumuh, muka yang lusuh , dan tubuh yang ringkih. Mereka tertatih-tatih dengan mata yang cekung, perut yang busung, dan kaki yang kembung. Jelas sekali, mereka menanggung kelaparan. Mata Sang Nabi yang penuh kasih menggelegak dengan tangisan. Ia ajak semua sahabatnya untuk membantu mereka semampunya.
Seorang Anshar datang dengan membawa sekantung uang, disusul oleh sahabat yang membawa sekarung gandum. Susul-menyusul, para sahabat menyumbangkan apa yang mereka miliki.
Di hadapan Al-Mushtafa bertumpuk bukan hanya makanan tetapi juga pakaian dan berbagai perbekalan. Wajah Sang Nabi bersinar bahagia. Ia bersabda, “Siapa pun yang memulai kebiasaan baik dalam Islam, baginya pahala perbuatan baik itu dan pahala orang yang melanjutkan kebiasaan itu sesudahnya, tanpa mengurangi pahalanya sedikit pun. Siapa pun yang memulai kebiasaan yang buruk, baginya dosa dan dosa orang yang melanjutkan kebiasaan buruk itu sesudahnya, tanpa mengurangi dosanya sedikit pun.”
Kepada saudara sepupunya Ali, Al-Mushtafa berkata, “Hai Ali, Allah telah menjadikan kefakiran itu sebagai amanah kepada makhluknya. Siapa pun yang membahagiakan orang fakir, ia akan memperoleh pahala orang yang terus menerus melakukan puasa dan salat malam. Siapa yang menyerahkan kepada yang mampu menolongnya tapi orang itu tidak menolongnya, ia telah membunuhnya, bukan dengan pedang dan tombak, tetapi dengan kepedihan dalam hatinya.”
Dalam keheningan malam, Al-Mushtafa berdoa: “Ya Allah, hidupkan aku sebagai orang miskin. Matikan aku sebagai orang Miskin. Dan himpunkan aku di tengah-tengah orang miskin.”
Di hadapan sahabat-sahabatnya ia berkata, “Orang-orang miskin adalah raja-raja di surga. Semua orang merindukan surga, tetapi surga merindukan orang -orang miskin.”
Dan hiduplah al-Mushtafa sebagai orang miskin. Ia hanya punya beberapa lembar pakaian. Seorang perempuan dengan merendah dan penuh hormat mempersembahkan burdah kepada Sang Nabi as. Dengan suara yang hampir hilang, dengan jantung yang berdetak kencang, dengan tangan yang berguncang, ia berkata, “Ya Rasul Allah, burdah ini aku rajut sendiri dengan tanganku. Kiranya engkau berkenan menerimanya dan mengenakannya.”
Al-Mushtafa mengambilnya dengan suka cita, dengan senyuman yang menyebarkan kasih semesta, di hadapan mata yang berkaca-kaca, mata perempuan yang amat bahagia. Ia bangga. Lihat, al-Mushtafa mengenakan burdah, yang dijahitnya dengan tangannya sendiri.
Lihat, Al-Mushtafa datang di tengah-tengah sahabatnya. Bukan burdah yang membuat Sang Nabi indah, tetapi Sang Nabi yang membuat burdah itu indah.
Balaghal ‘ulaa bikamaalih
Kasyafad dujaa bijamaalihi
Hasunat jamii’u hishaalihi
Shallu ‘alaihi wa aalihi
Dia capai ketinggian dengan kesempurnaannya
Dia singkap kegelapan dengan keindahannya
Indah nian semua perilakunya
Sampaikan salawat kepadanya dan keluarganya
Para sahabat mengagumi keindahan Sang Nabi dengan burdahnya. Salah seorang di antara mereka nekad berkata, “Indah benar burdah ini, ya Rasulullah! … Ma ahsanahaa. Kiranya engkau berkenan memberikannya padaku.”
Para sahabat menegur orang yang lancang itu, “Kamu lihat betapa indahnya burdah itu dipakai Nabi saw. Beliau pun memerlukannya. Tetapi kamu memintanya karena kamu tahu ia tidak akan menolak orang yang memintanya?” Ketika Al- Mushtafa memberikan pakaian itu kepadanya, masih dengan senyuman nabawi yang menyejukkan hati, sahabat yang beruntung itu berkata, “Demi Allah, aku memintanya bukan untuk aku pakai sekarang. Aku memintanya untuk kain kafanku nanti.”
Kelak, ketika jasadnya dibaringkan di lubang lahatnya, orang melihat jenazahnya tersenyum, dikafani dengan burdah ayah fuqara dan masakin. Nun jauh di sana, seorang perempuan tersenyum. Kain kafan itu adalah burdah yang dijahit dengan tangannya sendiri dan pernah dikenakan dengan indah pada tubuh yang suci, kekasih ilahi dan kekasih dirinya.
Saudara, waktu ini, jam ini, detik ini kita berkumpul di sini, untuk menjadi perempuan Anshar itu. Kita ingin membahagiakan hati sang Nabi saw. Kita ingin mempersembahkan kepadanya pakaian cinta yang sederhana, yang kita rajut sendiri dengan deraian air mata kita dalam kenangan kepada Imam Husain. Kita ingin membalas cintanya secara bersahaja.
(Masuk lagu : Rindu kami padamu ya Rasul).
Kita kembali lagi ke alam jabarut. Al-Mushtafa telah menanggung kesabaran untuk menjalankan amanah al-Rahman, melayani orang miskin dan mendahulukannya daripada dirinya sendiri. Lalu, apa jawab kita kepada pertanyaan ilahi, kaifa shabruk, bagaimana kesabaranmu dalam melayani orang miskin? Sudahkah kita penuhi perutnya yang lapar, sudahkah kita sembuhkan sakitnya yang parah, sudahkah kita lepaskan kesulitannya, sudahkah kita hibur penderitaannya, sudahkah kita bahagiakan kehidupannya.
Alangkah malangnya aku, duhai Tuhanku, sekiranya kau ambil imanku hanya karena aku tidur kenyang sementara tetanggaku kelaparan di sampingku. Hanya karena aku tidak sabar melayani mereka.
Betapa celakanya aku, duhai Tuhanku, sekiranya Kaucampakkan aku dari hadiratmu, karena tidak kukunjungi orang yang sakit, tidak kuberi pakaian orang yang telanjang, tidak kukenyangkan orang yang lapar. Lalu Kau berfirman: Sekiranya kamu kunjungi yang sakit, yang sengsara, yang lapar, kamu akan menemui Aku di sana dan juga… di sini. Ampuni aku, duhai Tuhanku, aku tidak sabar melayani mereka!
***
Kaifa Shabruk…Kaifa Shabruk…Kaifa Shabruk?
Firman itu turun seperti sinar yang diterangkan, pada kitab yang dituliskan, untuk Nabi yang dibahagiakan. Anzalan nuur. Fi kitaabim masthuur ‘alan Nabiyim mahbuur.
Kedua,
Kaifa shabruk, sanggupkah kamu bersabar! Engkau akan didustakan dan diancam dengan ketakutan yang berat. Dalam menghadapi itu engkau persembahkan hatimu padaKu. Engkau perangi orang kafir dengan hartamu, dengan dirimu, dan kau bersabar atas kepedihan yang menimpamu, yang ditimpakan orang munafik terhadapmu; serta kesakitan ketika terluka dalam peperangan.
Dengan suara parau, dalam kerendahan diri penuh kepasrahan, al-Mushtafa berkata: “Aku terima, duhai Tuhanku. Aku rido dan aku pasrah. Dari Engkau juga taufik dan kesabaranku.”
Bersamaan dengan itu, Tuhan membuka lagi satu pintu di masa depan.
Al-Amin, orang paling terpercaya di Makkah, bangsawan budi yang makruf karena kemuliaan akhlaknya, tiba-tiba dituding sebagai pembohong, difitnah sebagai tukang sihir, dituding sebagai orang gila, yang dibisiki setan pagi dan petang, siang dan malam. Ia dituduh telah meninggalkan agama nenek moyang, merusak ketertiban dan keamanan. Ia dianggap membawa ajaran sesat. Ia telah memisahkan anak dari orang- tuanya, kawan dari sahabatnya, saudara dari kerabatnya, budak dari tuannya, bawahan dari atasannya.
Pada suatu hari, dengan kepala yang selalu tepekur ke bumi, dengan kaki yang langkahnya diayunkan dengan penuh kerendahan hati, Al-Mushtafa melewati kerumunan kaum elit Quraisy; kaum yang mengisi ibadat dan doanya dengan siulan dan tepuk tangan. Mereka berteriak mengejek Nabi saw, “Pembohong! Orang gila! Dukun keparat! Tukang sihir! Kemasukan setan!”
Dengan langkah-langkah yang tetap tegar, ia mendekati Kabah. Di dekat Makam Ibrahim, ia berdiri, rukuk, dan sujud. Tiba-tiba dari kerumunan orang kafir itu meloncat seorang yang bertubuh besar dan kekar, OKBAH atau Uqbah bin Abi Mu’ith. Ia melemparkan sampah kotor ke atas kepala al-Mushtafa yang sedang sujud. Al-Amin tidak sanggup mengangkat kepalanya, sampai langkah-langkah kecil menghampirinya. Matanya yang bening memandang tajam manusia-manusia kasar di sekitarnya. Ia seret sampah kotor itu dengan segala kekuatannya. Al- Musthafa mengangkat kepalanya yang mulia. Suara pertama yang terdengar adalah panggilan mesra bagi putrinya yang tercinta, “Ya Umma Abiihaa!” (1)
Beberapa waktu sebelumnya, putri Nabi membersihkan duri-duri yang dilemparkan orang di depan pintu rumahnya dan di jalanan yang ditempuhnya. Dengan mata yang bening itu, ia memandang tajam manusia-manusia kasar di sekitarnya. Dengan suara yang jernih itu, ia menegur orang-orang yang mengelilinginya, “Beginikah kalian bertetangga, hai orang Quraisy.” Dan manusia paling mulia di alam semesta itu memanggilnya dengan mesra, “Ya Umma Abiihaa!”
(masuk lagu : Tanganmu Selembut Sutra)
Okbah, manusia kasar, itu beberapa hari sebelumnya, didatangi kawan dagangnya, Ubayy bin Khalaf. Keduanya bersekutu dalam mengejar kekayaan, tanpa peduli halal dan haram. Mereka berpegang teguh pada agama nenek moyangnya juga karena kepentingan dunia mereka.
Ubayy, tanpa mengetuk pintu, ia masuk rumah Okbah; tanpa basa basi, ia membentak Okbah, “Kamu sudah sesat, hai Okbah! Kamu sudah tinggalkan agama leluhur kita!”
“Demi Allah,” kata Okbah, “aku tidak pernah meninggalkan agamaku. Tapi ketika aku undang orang makan di rumahku, seorang lelaki menolak makan kecuali aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad utusannya. Aku malu kalau ia keluar dari rumahku dan ia tidak ikut makan. Kesaksianku Cuma basa-basi saja. Tidak lebih dari itu.”
“Sejak ini aku tidak rido sama kamu. Aku tidak senang kepadamu; kecuali… kamu datangi dia kembali. Kamu ludahi mukanya, kamu injak lehernya.”
Okbah hari itu juga mendatangi al-Mushtafa. Ia ludahi wajah yang agung, yang karena wajah itu, Abu Thalib menurunkan hujan dari sela-sela awan. Ia melemparkan jeroan unta ke pundak Nabi saw. Al-Mushtafa menerimanya dengan sabar dan bersabda, “Nanti ketika kamu keluar dari Mekah, aku akan datang dari arah bukit itu. Aku akan letakkan pedang di atas kudukmu. Hari itu kamu akan menyesali perbuatanmu.”
***
Sekali ini, kita melihat al-Mushtafa pulang dari Tabuk. Pulang setelah perjalanan panjang yang melelahkan. Bagi para sahabatnya, inilah perjalanan yang menguji iman dan kesabaran. Musim panen yang ditinggalkan, musuh yang ditakutkan, udara panas yang menyengat, dan alasan yang mereka buat- buat.
Al-Mushtafa berkata, “Tempuhlah lembah ini. Tidak seorangpun boleh mengikutiku selain orang yang aku tunjuk. Aku akan mengambil jalan pintas melalui bukit yang terjal.”
Maka dalam kegelapan malam, unta al-Mushtafa menaiki bukit perlahan-lahan. Tiba-tiba terdengar suara berisik. Nabi saw menyuruh Huzaifah menelisik. Huzaifah menyaksikan orang- orang yang bertopeng bergerak siap menyerang. Ia berteriak keras, “Siapa kalian?” Sekarang yang terdengar adalah suara gemertak langkah-langkah kaki yang makin lama makin pelan. Mereka mundur ketakutan. Mereka takut topengnya terbuka.
“Wahai Huzaifah, mereka bermaksud membunuhku dan melemparkan aku ke jurang. Mereka adalah orang-orang munafik.”
Lalu al-Mushtafa menyebut nama-nama mereka, membuka muka-muka yang sembunyi di balik cadarnya. Huzaifah diberinya amanat untuk menyimpan nama-nama itu sampai saatnya tiba. Huzaifah, Shahib sirr Rasulillah. Huzaifah pemilik rahasia Rasul Allah.
في اصحابي إثنا عشر منافقاً ، فيهم ثمانية لا يدخلون الجنة حتي يلج الجمال في سم الخياط
“Di tengah-tengah sahabatku, ada dua belas orang munafik. Di antara mereka ada delapan orang yang mustahil masuk surga seperti tidak mungkinnya unta masuk ke lubang jarum.” (2)
Al-Mushtafa ternyata bukan hanya berduka karena ratusan sahabatnya yang setia meninggal dalam hampir delapan puluh peperangan melawan orang-orang kafir; tapi ia juga bersedih karena dilawan dan bahkan mau dibunuh oleh sahabat- sahabatnya yang munafik. “Jika engkau sudah mengetahuinya, mengapa tidak kau putuskan hukuman mati bagi mereka, “ tanya Ammar bi Yasir dan Huzaifah.
“Aku tidak mau nanti orang-orang berkata: Muhammad membunuh sahabat-sahabatnya sendiri.”
Betapa sabarnya al-Mushthafa. Ya Nabiyar Rahmah, wahai Nabi yang penuh kasih, bagikan setetes kesabaran darimu kepada kami. Kami tidak dilempari sampah kotor di atas kepala kami, tapi muka-muka kami sudah ditaburi ludah kebencian, sudah disiram muntah permusuhan. Di sekitar kami ada muka- muka bengis yang mengancam kami, ada suara-suara buruk yang menistakan kami, ada gerak-gerak kasar yang ingin mencelakakan kami.
Ya Rasulullah, pasti kau dengar jeritan saudara-saudara kami yang dicaci-maki, dihinakan, diusir dari tempat tinggalnya, diceraiberaikan keluarganya, dibakar rumahnya, disiksa jasadnya, dan akhirnya dihabisi nyawanya.
Ya Nabiyyar Rahmah, pasti kini engkau saksikan bagaimana bangsa yang terkenal ramah dan banyak tersenyum sekarang berubah menjadi bangsa yang kejam dan bermuka masam. Dosa kami hanya karena kami ingin menangis bersama tangisanmu, hanya karena kami ingin mengungkapkan cinta kami kepadamu dan orang-orang yang kau cintai. (Asyku ilaika faqda Nabiyyinaa…)
***
Kaifa Shabruk…Kaifa Shabruk…Kaifa Shabruk?
Firman itu turun seperti sinar yang diterangkan, pada kitab yang dituliskan, untuk Nabi yang dibahagiakan. Anzalan nuur. Fi kitaabim masthuur ‘alan Nabiyim mahbuur.
Ketiga,
Kaifa shabruk, sanggupkah kamu bersabar! Sanggupkah kamu bersabar menyaksikan apa yang akan dialami oleh ahli baitmu sepeninggalmu. Mereka akan dibantai.
Saudara terkasihmu Ali akan dihujat, dicaci- maki, disumpah-serapahi, dijauhi, dikafirkan, dan dizalimi oleh umatmu. Dan akhirnya dibunuh.
Dengan suara parau, dalam kerendahan diri penuh kepasrahan, al-Mushtafa berkata: “Aku terima, duhai Tuhanku. Aku rido dan aku pasrah. Dari Engkau juga taufik dan kesabaranku.”
Bersamaan dengan itu, Tuhan membuka lagi satu pintu berikutnya di masa depan.
Kedua Kekasih Tuhan itu Berpelukan (3)
Kedua tangan sepasang kekasih itu bergandengan
Menapaki lorong-lorong di luar kota Madinah
Melewati kebun-kebun yang indah
“Alangkah indah kebun ini, ya Rasul Allah”
Itu suara Ali bin Abi Thalib
"Kebun buatmu di surga lebih indah lagi”
Itu suara Rasul Allah
Dengarkan penuturan Ali
Salah seorang dari sepasang sejoli
“Setiap kali aku melewati kebun
Kuucapkan betapa indahnya
Rasulullah selalu menjawabnya
Kebun di surga buatmu lebih indah lagi
Sampailah aku melewati kebun yang ketujuh
Tiba-tiba Nabi, kekasihku, memeluk tubuhku
Ia meletakkan kepalanya yang mulia di pundakku
Ia menangis keras membasahi leher dan pundakku
‘Apa gerangan yang menyebabkan tangisanmu Ya Rasul Allah’
“Aku melihat kedengkian pada berbagai kaum
Yang akan mereka bukakan sepeninggalku”
“Apa yang harus aku lakukan, ya Rasul Allah!”
“Bersabarlah, sampai kau berjumpa denganku.”
“Apakah itu untuk keselamatan agamaku, ya Rasulullah.”
“Benar, untuk keselamatan agamamu.”
Kedua kekasih Tuhan itu berpelukan
Derai tangisan sebaik-baiknya insan
Memulai tragedi keluarga Nabi
Dari kebun di luar kata Madinah
Sampai puncaknya di padang gersang Karbala
Kedua kekasih Tuhan itu berpelukan
Dalam derai tangisan
Sejak itu sampai kini dan akhir zaman
Tangisan untuk agama yang harus diselamatkan
الم * أحسب الناس أن يتركوا أن يقولوا امنا وهم لا يفتنون
Alif. Laam. Miim. Adakah manusia mengira: Ia akan dibiarkan berkata, kami beriman padahal mereka tidak diterpa ujian!
Ali, murid terkasih dari gurunya yang terkasih, bertanya dengan penuh santun, “Ya Rasul Allah, apakah ujian yang disampaikan Allah kepada kami dalam ayat ini”
“Hai Ali, sepeninggalku, umatku akan diuji? Apakah iman mereka sejati?”
“Ya Rasul Allah, bukankah engkau pernah berkata padaku usai perang Uhud, ketika para sahabat banyak berguguran sebagai syuhada, sementara kesyahidan dilepaskan dariku dan dukaku hampir tak tertahankan,
“Berbahagialah hai Ali, karena kesyahidan menantimu sepeninggal aku.”
FA KAIFA SHABRUK! Sanggupkah kau bersabar!
Inilah firman Tuhan yang didengar Nabi pada waktu Mi’raj. Kalimat ini sekarang disampaikan Nabi saw dari bibirnya yang “wa ma yanthiqu ‘anil hawa, in huwa illa wahyuy yuhaa”, dari lidahnya yang tidak berbicara berdasarkan hawanafsunya, selain wahyu yang diterimanya!
“Ya Ali, fa kaifa shabruk? Sanggupkah kau bersabar!”
Ya Rasul Allah, aku bukan hanya akan bersabar. Nubuat itu aku akan terima sebagai berita gembira dan aku akan mensyukurinya!
“Hai Ali, nanti umat ini akan diuji dengan kekayaan. Mereka akan mengubah-ubah agama ini dan berharap Allah akan menerima agama mereka. Mereka menduga Allah akan menurunkan rahmat-Nya bagi mereka. Mereka merasa aman dari kemurkaan Tuhan. Lalu mereka halalkan yang haram dengan ajaran kebohongan dan nafsu yang kebablasan. Mereka halalkan khamar dan menyebutnya nabiz. Mereka halalkan korupsi dan menyebutnya hadiah. Mereka halalkan riba dan menamainya transaksi.”
Ya Rasulullah, apakah aku harus memperlakukan mereka sebagai orang yang keluar dari agama atau sebagai orang yang tertipu dengan fitnah cobaan.
“Sebagai orang yang tertipu dengan fitnah cobaan”.
Alangkah sabarnya Ali bin Abi Thalib. Seperti Abul Fuqara dan Masakin, dengan sabar ia melayani fakir miskin dan orang-orang yang menderita.
(masuk lagu : Tangan Amirul Mukminin)
Kepada sesama kaum muslimin yang memeranginya, Ali tidak henti-hentinya menyebarkan pesan perdamaian. “Apakah orang-orang yang memerangimu itu kafir?” tanya sahabat-sahabatnya. “Bukan,” kata Ali, “Mereka adalah saudara-saudara kita yang berbeda faham dengan kita.”
(masuk puisi : Belia dari Kufah)
***
Kaifa Shabruk…Kaifa Shabruk…Kaifa Shabruk?
Firman itu turun seperti sinar yang diterangkan, pada kitab yang dituliskan, untuk Nabi yang dibahagiakan. Anzalan nuur. Fi kitaabim masthuur ‘alan Nabiyim mahbuur. Firman itu turun kepada Nabi di alam jabarut. Sekarang kalimatullah hiyal ‘ulya menjadi kalimah al-Rasuul al-A’zham, disampaikan kepada Ali, sahabat yang paling dicintainya.
Bersamaan dengan itu, Tuhan membuka pintu duka ke arah kafilah derita, sepeninggal al-Mushtafa.
Di Kufah, dua puluhan tahun setelah wafat al-Mushtafa, serombongan orang saleh mengikuti singa sang penakluk… Ali bin Abi Thalib. Mereka memasuki kebun kurma dengan mayang-mayang yang berjuntai-juntai, seperti juntaian lampu-lampu di pinggir jalan. Ali meletakkan butir-butir ruthab, kurma basah dan segar, pada telapak tangan para sahabatnya, perkhidmatan Imam kepada para pecintanya.
Di bawah salah satu pohon kurma, di depan Ali, seorang lelaki mensyukuri lezatnya kurma, “Ya Amir al- Mukminin, maa athyaba hadzar ruthab! Enak betul rothab ini!”
Amirul Mukminin as sejenak menatapnya dengan tatapan penuh kasih. Ia menunjuk ke pohon korma yang masih muda di sampingnya.
“Ya Rusyaid, nanti kamu bakal disalibkan pada batang pohon ini. Ya Rusyaid, kayfa shabruk! Kelak akan datang aparat dari Ziyad bin Abih, penguasa kejam. Ia akan memanggilmu, menyuruh kamu berlepas diri dariku. Menyuruh kamu meninggalkan agamamu. Tapi kamu menolaknya. Mereka kemudian memotong kedua tanganmu, memotong kedua kakimu, dan memotong lidahmu. Akhirnya, mereka salibkan kamu di batang pohon kurma ini.
Kaifa shabruk!
Mampukahkamu menanggungnya ya Rusyaid? (Suara penuh cinta itu).
“Ya Amiral Mukminin, wa aakhira dzalika ilal jannah!”
يا رشيد أنت معي في الدنيا والآخرة
Ya Rusyaid, kamu bersamaku di dunia dan akhirat! (Masih suara yang yang penuh kasih itu)
Mata Rusyaid berbinar-binar. Di pelupuk matanya bergelegak air mata cinta.
Sejak itu, Rusyaid mengunjungi pohon kurma itu, menyiraminya dengan tekun. Pohon kurma itu menjadi pengikat antara ia dengan kekasihnya, antara ia dengan Rasulullah saw, antara ia dengan Allah swt.
Tidak lama setelah kepala yang mulia dari kekasihnya ditebas di mihrab Masjid Kufah, Rusyaid melewati pohon kurma itu. Daun-daunnya sudah dipangkas. Ia bergumam: Sudah dekat ajalku. Sungguh benar kekasihku.
Tiba-tiba datang seorang aparat kerajaan: “Kamu dipanggil Amir!” Ia melewati pohon kurma itu. Pohonnya sudah ditebang, dibelah menjadi dua – sebelah teronggok di depan istana, dan sebelah lagi dijadikan saluran alir. Ia bergumam lagi: Sungguh benar kekasihku!
Ziyad membentak: Hai orang tua pembohong, budak dari si pembohong.
“Aku bukan pembohong dan kekasihku, mawlaku, juga bukan pembohong”
“Apa yang dikatakan kawan kamu itu?”
“Ia berkata: Aku akan dipanggil kamu untuk berlepas diri dari mawlaku Ali bin Abi Thalib as. Aku pasti menolak tawaranmu. Kemudian kamu memotong kedua tanganku, menebas kedua kakiku, dan menggunting lidahku.”
“Aku buktikan kawan kamu itu bohong. Tebas kedua tangannya, kedua kakinya, dan biarkan lidahnya.”
Rusyaid tersenyum ketika pedang itu mengoyak- ngoyakkan tubuhnya, memotong satu demi satu tangannya; memisahkan satu demi satu kakinya. Qanwa, anak perempuan Rusyaid yang sangat disayanginya mengumpulkan potongan-potongan tubuhnya, menumpukkannya dalam pelukannya, sementara linangan airmata mengalir bersama genangan darah yang tiada henti-hentinya.
“Abah, tidakkah engkau rasakan sakit karena musibah ini.”
“Tidak anakku, kecuali seperti kepenatan di tengah-tengah desakan orang banyak.”
Kecintaannya kepada Ali, keyakinannya akan kebenaran ucapan kekasihnya, menghilangkan semua sakit dalam tubuhnya. Ia masih juga tersenyum, sedang dalam benaknya terbayang pandangan kasih dari mawlanya di kebun kurma dulu.
Sepanjang jalan ke rumahnya, sebongkah tubuh merah di atas punggung sahabatnya itu terus juga berkata, “Bawa pena dan kertas, tuliskan semua ucapanku, catat dengan cermat.
Bukankah aku pernah berkata, ada tiga orang kekasih Amirul Mukminin yang akan menemui kematian karena cintanya kepada Mawlaku? Yang seorang akan dilempar dari tempat tinggi, yang seorang akan meninggal di tempat tidurnya karena racun yang diminumnya, dan yang seorang akan dimutilasi tubuhnya. Ya Allah, jangan jadikan aku yang paling malang di antara ketiganya.
Bukankah sudah kalian saksikan kebenaran ucapanku, yang aku terima dari kekasih kaum mustadh’afin, Amirul Mukminin.
Kalian dengar pemimpin Murad yang saleh, sahabat Nabi saw yang mulia, tokoh Yaman di Kufah, Hani bin Urwah dibawa ke hadapan Muawiyah. Ia dipukuli pada hidungnya, pipinya, dan pelipisnya. Kalian lihat muka putihnya berubah menjadi merah. Lalu ia ditarik ke pasar dan dijatuhkan dari atap rumah yang tinggi. Semuanya karena kecintaannya kepada Aqil, Husain, Ali, dan Rasulullah saw.
Kalian dengar seorang pejuang yang piawai memainkan pedang dan sekaligus piawai membuat puisi. Ia hidup sederhana, walaupun menjadi panglima pasukan Ali. Ia habiskan malamnya dalam rukuk dan sujud. Ia gunakan siang harinya untuk melayani kaum tertindas. Di perjalanan menuju Mesir, ia diracun. Duhai betapa beruntungnya Malik Asytar. Ia telah membuktikan bahwa sabda sang Mawla memang benar.
Apakah aku lebih malang dari mereka. Aku seperti kalian saksikan. Aku sudah kehilangan kedua tangan dan kedua kakiku. Tetapi lidahku belum digunting. Aku yakin Imamku pasti benar.
Ketahuilah, aku, Urwah dan Malik menyaksikan Nabi saw mengangkat tangan Ali bin Abi Thalib dan berkata: Man kuntu mawlaah fahadza Aliyyun mawlaah. Catat: Siapa yang menjadikan aku pemimpinnya jadikan juga Ali ini sebagai pemimpinnya juga.”
Suaranya yang makin parau menghilang dalam suara hiruk pikuk. Utusan Ziyad bin Abih menyeruak, menerobos, menembus kerumunan orang. Ia membawa pedang. Di depan sebongkah tubuh tanpa tangan tanpa kaki ia berteriak: Patuhi Amir. Hentikan ocehanmu. Ulurkan lidahmu.
“Izinkan aku berbicara satu kalimat saja sebelum kau potong lidahku.”
Sambil melihat kepada pedang yang gemerlap di depan mulutnya, ia menarik nafas dan mengeluarkan kalimat terakhir:
والله جاء تصديق خبر أمير المؤمنين
Demi Allah, sekarang sudah datang bukti kebenaran hadis Amirul Mukminin.
Tangan anak buah Ziyad menarik keras lidah Rusyaid dan menyayatnya dengan pedang.
Malam itu, ruhnya yang suci dijemput kekasihnya, Imam Ali as. Meninggalkan sesungging senyum di wajahnya. Di ufuk alam malakut terdengarlagi suara sang Kekasih: Anta ma’i fid Dunyaa wa al-akhirah. Engkau bersamaku di dunia dan akhirat.
(masuk lagu : Ode para Syuhada)
Saudara, setelah itu, ratusan, ribuan, bahkan jutaan Rusyaid al-Hajari jatuh tersungkur membasahi tanah di bawahnya dengan genangan darahnya. Beberapa hari yang lalu, di dusun Rwaisyin, di Yaman, bom dijatuhkan di tengah-tengah kumpulan orang-orang yang sedang menangisi cucunda Nabi saw. Tubuh-tubuh ratusan orang tercabik-cabik dalam teriakan pilu, “Labbaika ya Husain.”
Peristiwa seperti ini terjadi di Jazirah Arab, di Bahrain, di Pakistan, di Nigeria, dan di negeri-negeri lainnya. Yang paling mengerikan dari semuanya adalah pembantaian pecinta keluarga Nabi saw di Iraq. Acara long march pertama, setelah jatuhnya Saddam, diporak porandakan dengan bom-bom yang diledakkan di tengah-tengah manusia-manusia yang berdesak-desakan. Tangan- tangan, kaki-kaki, dan potongan-potongan tubuh beterbangan. Ada ribuan Rusyaid yang diakhiri hidupnya karena teriakan “Labbaika ya Husain.” Ada jutaan umat manusia, dalam barisan panjang menuju Karbala yang mengantar para Rusyaid dengan teriakan, “Labbaika ya Husain.” (sahabat)
***
Firman itu turun seperti sinar yang diterangkan, pada kitab yang dituliskan, untuk Nabi yang dibahagiakan. Anzalan nuur. Fi kitaabim masthuur ‘alan Nabiyim mahbuur.
Ketiga,
Kaifa shabruk, sanggupkah kamu bersabar! Sanggupkah kamu bersabar menyaksikan apa yang akan dialami oleh ahli baitmu sepeninggalmu. Mereka akan dibantai.
Kaifa Shabruk…Kaifa Shabruk…Kaifa Shabruk?
Bersamaan dengan itu, Tuhan membuka pintu duka ke arah kafilah derita, sepeninggal al-Mushtafa.
Setelah di penghujung malam Al-Husain merebahkan tubuhnya di atas kuburan kakeknya Rasulullah saw, setelah ia basahi pusara Nabi saw dengan genangan airmatanya, sama seperti apa yang dilakukan ibunya Fathimah al-Zahra, al-Husain meninggalkan Madinah .
Di celah bukit Wada’i, di tsaniyyatil wada’, al-Husain memandang balik ke kota suci, mengenang hari-hari ketika ia dan kakaknya al-Hasan dibesarkan kakeknya Rasul Allah saw. Nabi saw turun dari mimbarnya, memagut ia dan kakaknya, dan membawanya ke mimbarnya. Mereka merasakan kehangatan cinta kakek, yang tidak henti-hentinya menciumi kepala mereka.
Masih terngiang di telinga al-Husain doa kakeknya di mimbar itu, di hadapan para sahabat Nabi saw,
اللهم اني أحبهما فأحبهما واحب من أحبهما. من أحبني فليحب هذين ريحانتاي فى الدنيا. من أحب الحسن والحسين أحببته ومن أحببته أحبه الله ومن أحبه الله أدخله الجنة
“Yaa Allah, aku mencintai keduanya, maka cintailah keduanya, ya Allah. Aku mencintai siapa yang mencintai keduanya. Barang siapa yang mencintaiku maka cintailah keduanya. Kedua anakku itu adalah bunga-bunga merkahku di dunia. Siapa yang mencintai al-Hasan dan al-Husain, aku akan mencintainya. Siapa saja yang aku cintai, Allah akan mencintainya. Siapa yang Allah cintai, Allah masukkan ia ke surga”
Kini, gubernur Madinah bermaksud untuk membunuhnya. Ia memaksa al-Husain untuk berbaiat kepada Yazid peminum khamar, pezinah, pembunuhyang tidak bersalah, yang sahabat dekatnya anjing dan kera. “Bagaimana orang sepertiku harus berbaiat kepada orang seperti dia.” Kata Imam Husain.
Samar-samar di kejauhan, ia melihat Umm Salamah, Ibn Abbas, abdullah bin Umar, dan sahabat-sahabat lainnya. Kepada mereka al-Husain berkata:
“Aku tidak meninggalkan Madinah karena ingin merebut kekuasaan atau ingin menyombongkan diri. Aku tidak meninggalkan Madinah untuk menimbulkan kerusakan dan melakukan kezaliman. Aku berangkat untuk memperbaiki agama kakekku yang sudah disimpangkan orang. Aku ingin memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaran.”
***
Saudara, sekarang saudara berada di Karbala, pada 10 Muharram 65 H.
Saudara, akhirnya sampailah kita pada ujung perjalanan kita, pada peristiwa targis dlam seluruh sejarah kemanusiaan. Saudara adalah saksi sejarah itu. Sekarang perhatikan baik-baik, arahkan pandanganmu pada silhuet cahaya yang sedang menengok kemah-kemah itu satu per satu. Ia mematung di depan kemahnya. Ia memandang ke medan peperangan. Ia melihat jenazah-jenazah berenang dengan tubuh-tubuh yang kaku dalam banjir darah. Kini ia menyendiri. Ia menengok kemah saudara-saudaranya, para putra Amirul Mukminin. Kemah itu kosong dan sepi. Ia menengok kemah Bani Aqil, saudara-saudara sepupunya. Ia menengok kemah-kemah para sahabatnya yang setia. Kemah-kemah itu juga kosong dan sepi.
Dari bibirnya yang suci itu kita mendengar ia mengulang zikir yang suci: La hawla wa la quwwata illa billah. Dari kemah Imam Husain, kita mendengar jeritan dan tangisan, perempuan-perempuan dan anak-anak.
Sesosok tubuh lemah keluar dari kemah. Ia bertelekan pada tongkat dan menarik pedangnya. Terseok-seok ia menyambut kedatangan ayahnya. Kita mendengar al-Husain berteriak: Ya ukhtaah, tahanlah dia. Supaya bumi ini tidak kosong dari keturunan Aali Muhammad! Zainab menariknya lagi ke tempat tidurnya. Disandarkannya tubuh Zainal Abidin ke dadanya. Dengan suara parau dan ternengah-engah ia bertanya: Ke manakah sahabat-sahabat kita dan sanak saudara kita
Al-Husain tersentak. Kata-katanya terselak di tenggorokannya yang mulia: “Di seluruh kemah itu tidak ada laki-laki kecuali aku dan kamu. Semua sudah gugur tersungkur ke bumi.”
Tiba-tiba Ali Zainal Abidin yang sakit berkata. Kali ini dengan suara yang dikeras-keraskan: Bibi, berikan padaku pedang dan tongkat?
Ayahnya berkata: “Untuk apa keduanya itu”
“Tongkatku untuk aku bertelekan padanya. Dan pedangku untuk melindungi putra Rasulullah saw”
Al-Husain melarangnya. Ia peluk putranya untuk terakhir kalinya: “Aku tidak akan melepaskanmu untuk berperang. Engkau hujjahku untuk ahlibaitku dan syiahku. Engkau harus mengembalikan perempuan-perempuan ini ke Madinah!
Kemudian, sambil memegang tangan Ali Zainal Abidin, Imam berkata dengan suara keras: Ya Zainab, Ya Umma Kultsum, ya Sukaynah, ya Ruqayyah, ya Fathimah, dengarkan pembicaraanku. Ketahuilah bahwa anakku ini adalah penerusku dan Imam yang diwajibkan atas kalian mentaatinya. Ya Zainab, Ya Umma Kultsum, ya Sukaynah, ya Ruqayyah, ya Fathimah, ‘alaikunna minni salaam, fa hadza akhirul ijtimaa’ wa qad qaruba minkunnal iftijaa’. Salam terakhir darfiku bagi kalian. Inilah akhir pertemuan. Sebentar lagi kalian akan dihempas gelombang derita.”
Kita mendengar tangisan, jeritan, raungan duka memenuhi kemah. Ketika al-Husain mau meninggalkan kemah, Zainab bergelantung pada tangannya yang mulia: Berhentilah sebentar, ya akhi, biar aku puaskan memandangmu. Ia menciumi tangannya dan kakinya. Semua perempuan mengikutinya, menciumi tangan dan kakinya. Imam al-Husain menyuruh mereka menghentikan tangisannya. Ia menyentuhkan jemarinya yang suci ke dada Zainab dan melantunkan doa-doa yang pilu. Sentuhan jemarinya memasukkan ketenangan dan kesabaran ke dalam hati sanubari Zainab.
“Tenanglah saudaraku, putra ibuku. Engkau pasti akan melihatku melakukan apa yang kausukai dan kauridoi”
Baru saja perempuan-perempuan itu masuk kemah, Zainab menyusul lagi kakaknya. Zainab teringat wasiat ibunya, az-Zahra: Jika nanti datang suatu hari, permata hatiku al-Husain mau maju ke medan perang, dan aku tidak bersama dia, sebagai penggantiku, ciumlah dia pada lehernya.
“Akhi tawaqqaf qaliilan hatta a’mala biwashiyyati ummi”
“Kakak, berhentilah sebentar sampai aku laksanakan wasiat ibuku”
Saksikan, al-Husain menyerahkan lehernya untuk dicium ibunya, yang diwakili saudaranya. Leher itu pernah diciumi Rasulullah saw. Leher itu pernah diciumi Fathimah az-Zahra. Leher itu pernah diciumi Amirul Mukminin. Sebentar lagi kita akan menyaksikan leher yang sama ...leher yang sama...leher yang agung dan suci itu.. ditebas pedang.
La hawla wa la quwwata illa billahil azhim. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Menangislah saudara untuk dia yang menyerahkan lehernya pada ciuman Rasulillah dan al-Zahra. Menangislah saudara untuk dia yang mempersembahkan kepalanya untuk menegakkan agama Rasulullah saw. Menangislah untuk dia yang meneriakkan suara umat tertindas sepnjang zaman: Jika agama Muhammad ini tidak tegak kecuali dengan membunuh aku, hai pedang-pedang tebaslah aku!
Biarkan air mata kita mengalir. Biarkan darah kita mengalir. Biarkan air mata dan darah kita bergabung dengan darah al-Husain, dengan air mata dan darah para putra al-Husain, dengan air mata dan darah sahabat-sahabat al-Husain, dengan air mata dan darah para syuhada yang melepaskan arwahnya di halaman al-Husain.
Ya Aba Abdillah, ‘alaika minna salaamullah abadan ma baqiina wa baqiyal laylu wan nahaar!
Catatan Kaki:
Dari kemilau cahaya yang mengalir dari alam lahut bergetar suara penuh cinta:
“Allah yang Mahamulia dan Mahatinggi akan menguji kamu dengan tiga ujian. Bersediakah kamu bersabar menanggungnya. Kaifa Shabruk?”
Kaifa Shabruk… Kaifa Shabruk… Kaifa Shabruk?
Seluruh alam semesta, seluruh galaksi, seluruh gemintang, seluruh planet menggemakan firman Tuhan. Sejak butir-butir pasir yang terhampar di sahara yang tak terkira, sampai tata-tata surya yang menyebar di galaksi-galaksi yang tak terhingga, semua berkata yang sama:
Kaifa Shabruk… Kaifa Shabruk… Kaifa Shabruk?
Seperti Musa yang jatuh tersungkur ketika tajalliat Tuhan membuat bukit hancur, satu tetes embun mencuat dari tengah- tengah gelombang dan jatuh melebur. Dialah Manusia Pilihan, yang diutus Tuhan untuk menjadi ungkapan kasih rahmani ke seluruh alam. Firman itu turun seperti sinar yang diterangkan, pada kitab yang dituliskan, untuk Nabi yang dibahagiakan. Anzalan nuur. Fi kitaabim masthuur ‘alan Nabiyim mahbuur. Dengan suara parau, dalam kerendahan diri penuh kepasrahan, al-Mushtafa berkata:
“Aku serahkan diriku sepenuhnya pada amar-Mu, duhai Tuhanku. Aku tidak akan sanggup bersabar kecuali dengan kekuatan-Mu. Gerangan apakah tiga ujian itu?”
Pertama,
Kamu akan diuji dengan perasaan lapar, tapi kau dahulukan orang-orang yang dirundung kemalangan.
Bersamaan dengan itu, Tuhan membukakan satu pintu di masa depan.
Di padang rumput Madinah, Al-Mushtafa memilah-milah ratusan kambing sepenuh lapang. Dengan ceria dan senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya, ia bagikan seekor demi seekor kepada fakir miskin. Dalam keadaan kelelahan dan kelaparan, ia bertanya kepada istrinya, “Adakah makanan bagiku?” Ketika istrinya berkata tidak, Al-Mushtafa berkata: Kalau begitu, aku akan berpuasa. Fa inni Shaa-im!
Berhari-hari dapurnya tidak menyala. Ketika hidangan makanan akhirnya datang, dengan tangannya sendiri ia hampiri kaum miskin pendatang, yang bernaung di bawah beranda masjidnya. Ia tidak lagi peduli dengan perutnya sendiri. Senyum kebahagiaan karena melihat sahabatnya kenyang menghilangkan semua keperihan perutnya.
Di depan Ka’bah, ketika ia turun dari bukit, ia sampaikan amar Tuhan:
“Mengapa ia tidak menaiki bukit yang terjal; tahukah kamu apa bukit yang terjal itu. Kamu bebaskan perbudakan, kamu bagikan makanan pada hari kelaparan, kepada anak yatim dari keluarga dekatmu, dan orang miskin yang bergelimang debu.”
Maka hari itu, Sang Nabi mengumpulkan sahabatnya, menanamkan benih korma dengan tangannya sendiri, diikuti oleh sahabat-sahabatnya yang setia, membuka kebun kurma. Dari hasil perkebunan itu, seorang budak bertubuh tinggi melonjak gembira. Salman menjadi manusia merdeka, setelah berpuluh tahun dipasung sebagai hamba.
Pada hari yang lain, serombongan orang Badawi datang dari sahara, dengan pakaian yang kumuh, muka yang lusuh , dan tubuh yang ringkih. Mereka tertatih-tatih dengan mata yang cekung, perut yang busung, dan kaki yang kembung. Jelas sekali, mereka menanggung kelaparan. Mata Sang Nabi yang penuh kasih menggelegak dengan tangisan. Ia ajak semua sahabatnya untuk membantu mereka semampunya.
Seorang Anshar datang dengan membawa sekantung uang, disusul oleh sahabat yang membawa sekarung gandum. Susul-menyusul, para sahabat menyumbangkan apa yang mereka miliki.
Di hadapan Al-Mushtafa bertumpuk bukan hanya makanan tetapi juga pakaian dan berbagai perbekalan. Wajah Sang Nabi bersinar bahagia. Ia bersabda, “Siapa pun yang memulai kebiasaan baik dalam Islam, baginya pahala perbuatan baik itu dan pahala orang yang melanjutkan kebiasaan itu sesudahnya, tanpa mengurangi pahalanya sedikit pun. Siapa pun yang memulai kebiasaan yang buruk, baginya dosa dan dosa orang yang melanjutkan kebiasaan buruk itu sesudahnya, tanpa mengurangi dosanya sedikit pun.”
Kepada saudara sepupunya Ali, Al-Mushtafa berkata, “Hai Ali, Allah telah menjadikan kefakiran itu sebagai amanah kepada makhluknya. Siapa pun yang membahagiakan orang fakir, ia akan memperoleh pahala orang yang terus menerus melakukan puasa dan salat malam. Siapa yang menyerahkan kepada yang mampu menolongnya tapi orang itu tidak menolongnya, ia telah membunuhnya, bukan dengan pedang dan tombak, tetapi dengan kepedihan dalam hatinya.”
Dalam keheningan malam, Al-Mushtafa berdoa: “Ya Allah, hidupkan aku sebagai orang miskin. Matikan aku sebagai orang Miskin. Dan himpunkan aku di tengah-tengah orang miskin.”
Di hadapan sahabat-sahabatnya ia berkata, “Orang-orang miskin adalah raja-raja di surga. Semua orang merindukan surga, tetapi surga merindukan orang -orang miskin.”
Dan hiduplah al-Mushtafa sebagai orang miskin. Ia hanya punya beberapa lembar pakaian. Seorang perempuan dengan merendah dan penuh hormat mempersembahkan burdah kepada Sang Nabi as. Dengan suara yang hampir hilang, dengan jantung yang berdetak kencang, dengan tangan yang berguncang, ia berkata, “Ya Rasul Allah, burdah ini aku rajut sendiri dengan tanganku. Kiranya engkau berkenan menerimanya dan mengenakannya.”
Al-Mushtafa mengambilnya dengan suka cita, dengan senyuman yang menyebarkan kasih semesta, di hadapan mata yang berkaca-kaca, mata perempuan yang amat bahagia. Ia bangga. Lihat, al-Mushtafa mengenakan burdah, yang dijahitnya dengan tangannya sendiri.
Lihat, Al-Mushtafa datang di tengah-tengah sahabatnya. Bukan burdah yang membuat Sang Nabi indah, tetapi Sang Nabi yang membuat burdah itu indah.
Balaghal ‘ulaa bikamaalih
Kasyafad dujaa bijamaalihi
Hasunat jamii’u hishaalihi
Shallu ‘alaihi wa aalihi
Dia capai ketinggian dengan kesempurnaannya
Dia singkap kegelapan dengan keindahannya
Indah nian semua perilakunya
Sampaikan salawat kepadanya dan keluarganya
Para sahabat mengagumi keindahan Sang Nabi dengan burdahnya. Salah seorang di antara mereka nekad berkata, “Indah benar burdah ini, ya Rasulullah! … Ma ahsanahaa. Kiranya engkau berkenan memberikannya padaku.”
Para sahabat menegur orang yang lancang itu, “Kamu lihat betapa indahnya burdah itu dipakai Nabi saw. Beliau pun memerlukannya. Tetapi kamu memintanya karena kamu tahu ia tidak akan menolak orang yang memintanya?” Ketika Al- Mushtafa memberikan pakaian itu kepadanya, masih dengan senyuman nabawi yang menyejukkan hati, sahabat yang beruntung itu berkata, “Demi Allah, aku memintanya bukan untuk aku pakai sekarang. Aku memintanya untuk kain kafanku nanti.”
Kelak, ketika jasadnya dibaringkan di lubang lahatnya, orang melihat jenazahnya tersenyum, dikafani dengan burdah ayah fuqara dan masakin. Nun jauh di sana, seorang perempuan tersenyum. Kain kafan itu adalah burdah yang dijahit dengan tangannya sendiri dan pernah dikenakan dengan indah pada tubuh yang suci, kekasih ilahi dan kekasih dirinya.
Saudara, waktu ini, jam ini, detik ini kita berkumpul di sini, untuk menjadi perempuan Anshar itu. Kita ingin membahagiakan hati sang Nabi saw. Kita ingin mempersembahkan kepadanya pakaian cinta yang sederhana, yang kita rajut sendiri dengan deraian air mata kita dalam kenangan kepada Imam Husain. Kita ingin membalas cintanya secara bersahaja.
(Masuk lagu : Rindu kami padamu ya Rasul).
Kita kembali lagi ke alam jabarut. Al-Mushtafa telah menanggung kesabaran untuk menjalankan amanah al-Rahman, melayani orang miskin dan mendahulukannya daripada dirinya sendiri. Lalu, apa jawab kita kepada pertanyaan ilahi, kaifa shabruk, bagaimana kesabaranmu dalam melayani orang miskin? Sudahkah kita penuhi perutnya yang lapar, sudahkah kita sembuhkan sakitnya yang parah, sudahkah kita lepaskan kesulitannya, sudahkah kita hibur penderitaannya, sudahkah kita bahagiakan kehidupannya.
Alangkah malangnya aku, duhai Tuhanku, sekiranya kau ambil imanku hanya karena aku tidur kenyang sementara tetanggaku kelaparan di sampingku. Hanya karena aku tidak sabar melayani mereka.
Betapa celakanya aku, duhai Tuhanku, sekiranya Kaucampakkan aku dari hadiratmu, karena tidak kukunjungi orang yang sakit, tidak kuberi pakaian orang yang telanjang, tidak kukenyangkan orang yang lapar. Lalu Kau berfirman: Sekiranya kamu kunjungi yang sakit, yang sengsara, yang lapar, kamu akan menemui Aku di sana dan juga… di sini. Ampuni aku, duhai Tuhanku, aku tidak sabar melayani mereka!
***
Kaifa Shabruk…Kaifa Shabruk…Kaifa Shabruk?
Firman itu turun seperti sinar yang diterangkan, pada kitab yang dituliskan, untuk Nabi yang dibahagiakan. Anzalan nuur. Fi kitaabim masthuur ‘alan Nabiyim mahbuur.
Kedua,
Kaifa shabruk, sanggupkah kamu bersabar! Engkau akan didustakan dan diancam dengan ketakutan yang berat. Dalam menghadapi itu engkau persembahkan hatimu padaKu. Engkau perangi orang kafir dengan hartamu, dengan dirimu, dan kau bersabar atas kepedihan yang menimpamu, yang ditimpakan orang munafik terhadapmu; serta kesakitan ketika terluka dalam peperangan.
Dengan suara parau, dalam kerendahan diri penuh kepasrahan, al-Mushtafa berkata: “Aku terima, duhai Tuhanku. Aku rido dan aku pasrah. Dari Engkau juga taufik dan kesabaranku.”
Bersamaan dengan itu, Tuhan membuka lagi satu pintu di masa depan.
Al-Amin, orang paling terpercaya di Makkah, bangsawan budi yang makruf karena kemuliaan akhlaknya, tiba-tiba dituding sebagai pembohong, difitnah sebagai tukang sihir, dituding sebagai orang gila, yang dibisiki setan pagi dan petang, siang dan malam. Ia dituduh telah meninggalkan agama nenek moyang, merusak ketertiban dan keamanan. Ia dianggap membawa ajaran sesat. Ia telah memisahkan anak dari orang- tuanya, kawan dari sahabatnya, saudara dari kerabatnya, budak dari tuannya, bawahan dari atasannya.
Pada suatu hari, dengan kepala yang selalu tepekur ke bumi, dengan kaki yang langkahnya diayunkan dengan penuh kerendahan hati, Al-Mushtafa melewati kerumunan kaum elit Quraisy; kaum yang mengisi ibadat dan doanya dengan siulan dan tepuk tangan. Mereka berteriak mengejek Nabi saw, “Pembohong! Orang gila! Dukun keparat! Tukang sihir! Kemasukan setan!”
Dengan langkah-langkah yang tetap tegar, ia mendekati Kabah. Di dekat Makam Ibrahim, ia berdiri, rukuk, dan sujud. Tiba-tiba dari kerumunan orang kafir itu meloncat seorang yang bertubuh besar dan kekar, OKBAH atau Uqbah bin Abi Mu’ith. Ia melemparkan sampah kotor ke atas kepala al-Mushtafa yang sedang sujud. Al-Amin tidak sanggup mengangkat kepalanya, sampai langkah-langkah kecil menghampirinya. Matanya yang bening memandang tajam manusia-manusia kasar di sekitarnya. Ia seret sampah kotor itu dengan segala kekuatannya. Al- Musthafa mengangkat kepalanya yang mulia. Suara pertama yang terdengar adalah panggilan mesra bagi putrinya yang tercinta, “Ya Umma Abiihaa!” (1)
Beberapa waktu sebelumnya, putri Nabi membersihkan duri-duri yang dilemparkan orang di depan pintu rumahnya dan di jalanan yang ditempuhnya. Dengan mata yang bening itu, ia memandang tajam manusia-manusia kasar di sekitarnya. Dengan suara yang jernih itu, ia menegur orang-orang yang mengelilinginya, “Beginikah kalian bertetangga, hai orang Quraisy.” Dan manusia paling mulia di alam semesta itu memanggilnya dengan mesra, “Ya Umma Abiihaa!”
(masuk lagu : Tanganmu Selembut Sutra)
Okbah, manusia kasar, itu beberapa hari sebelumnya, didatangi kawan dagangnya, Ubayy bin Khalaf. Keduanya bersekutu dalam mengejar kekayaan, tanpa peduli halal dan haram. Mereka berpegang teguh pada agama nenek moyangnya juga karena kepentingan dunia mereka.
Ubayy, tanpa mengetuk pintu, ia masuk rumah Okbah; tanpa basa basi, ia membentak Okbah, “Kamu sudah sesat, hai Okbah! Kamu sudah tinggalkan agama leluhur kita!”
“Demi Allah,” kata Okbah, “aku tidak pernah meninggalkan agamaku. Tapi ketika aku undang orang makan di rumahku, seorang lelaki menolak makan kecuali aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad utusannya. Aku malu kalau ia keluar dari rumahku dan ia tidak ikut makan. Kesaksianku Cuma basa-basi saja. Tidak lebih dari itu.”
“Sejak ini aku tidak rido sama kamu. Aku tidak senang kepadamu; kecuali… kamu datangi dia kembali. Kamu ludahi mukanya, kamu injak lehernya.”
Okbah hari itu juga mendatangi al-Mushtafa. Ia ludahi wajah yang agung, yang karena wajah itu, Abu Thalib menurunkan hujan dari sela-sela awan. Ia melemparkan jeroan unta ke pundak Nabi saw. Al-Mushtafa menerimanya dengan sabar dan bersabda, “Nanti ketika kamu keluar dari Mekah, aku akan datang dari arah bukit itu. Aku akan letakkan pedang di atas kudukmu. Hari itu kamu akan menyesali perbuatanmu.”
***
Sekali ini, kita melihat al-Mushtafa pulang dari Tabuk. Pulang setelah perjalanan panjang yang melelahkan. Bagi para sahabatnya, inilah perjalanan yang menguji iman dan kesabaran. Musim panen yang ditinggalkan, musuh yang ditakutkan, udara panas yang menyengat, dan alasan yang mereka buat- buat.
Al-Mushtafa berkata, “Tempuhlah lembah ini. Tidak seorangpun boleh mengikutiku selain orang yang aku tunjuk. Aku akan mengambil jalan pintas melalui bukit yang terjal.”
Maka dalam kegelapan malam, unta al-Mushtafa menaiki bukit perlahan-lahan. Tiba-tiba terdengar suara berisik. Nabi saw menyuruh Huzaifah menelisik. Huzaifah menyaksikan orang- orang yang bertopeng bergerak siap menyerang. Ia berteriak keras, “Siapa kalian?” Sekarang yang terdengar adalah suara gemertak langkah-langkah kaki yang makin lama makin pelan. Mereka mundur ketakutan. Mereka takut topengnya terbuka.
“Wahai Huzaifah, mereka bermaksud membunuhku dan melemparkan aku ke jurang. Mereka adalah orang-orang munafik.”
Lalu al-Mushtafa menyebut nama-nama mereka, membuka muka-muka yang sembunyi di balik cadarnya. Huzaifah diberinya amanat untuk menyimpan nama-nama itu sampai saatnya tiba. Huzaifah, Shahib sirr Rasulillah. Huzaifah pemilik rahasia Rasul Allah.
في اصحابي إثنا عشر منافقاً ، فيهم ثمانية لا يدخلون الجنة حتي يلج الجمال في سم الخياط
“Di tengah-tengah sahabatku, ada dua belas orang munafik. Di antara mereka ada delapan orang yang mustahil masuk surga seperti tidak mungkinnya unta masuk ke lubang jarum.” (2)
Al-Mushtafa ternyata bukan hanya berduka karena ratusan sahabatnya yang setia meninggal dalam hampir delapan puluh peperangan melawan orang-orang kafir; tapi ia juga bersedih karena dilawan dan bahkan mau dibunuh oleh sahabat- sahabatnya yang munafik. “Jika engkau sudah mengetahuinya, mengapa tidak kau putuskan hukuman mati bagi mereka, “ tanya Ammar bi Yasir dan Huzaifah.
“Aku tidak mau nanti orang-orang berkata: Muhammad membunuh sahabat-sahabatnya sendiri.”
Betapa sabarnya al-Mushthafa. Ya Nabiyar Rahmah, wahai Nabi yang penuh kasih, bagikan setetes kesabaran darimu kepada kami. Kami tidak dilempari sampah kotor di atas kepala kami, tapi muka-muka kami sudah ditaburi ludah kebencian, sudah disiram muntah permusuhan. Di sekitar kami ada muka- muka bengis yang mengancam kami, ada suara-suara buruk yang menistakan kami, ada gerak-gerak kasar yang ingin mencelakakan kami.
Ya Rasulullah, pasti kau dengar jeritan saudara-saudara kami yang dicaci-maki, dihinakan, diusir dari tempat tinggalnya, diceraiberaikan keluarganya, dibakar rumahnya, disiksa jasadnya, dan akhirnya dihabisi nyawanya.
Ya Nabiyyar Rahmah, pasti kini engkau saksikan bagaimana bangsa yang terkenal ramah dan banyak tersenyum sekarang berubah menjadi bangsa yang kejam dan bermuka masam. Dosa kami hanya karena kami ingin menangis bersama tangisanmu, hanya karena kami ingin mengungkapkan cinta kami kepadamu dan orang-orang yang kau cintai. (Asyku ilaika faqda Nabiyyinaa…)
***
Kaifa Shabruk…Kaifa Shabruk…Kaifa Shabruk?
Firman itu turun seperti sinar yang diterangkan, pada kitab yang dituliskan, untuk Nabi yang dibahagiakan. Anzalan nuur. Fi kitaabim masthuur ‘alan Nabiyim mahbuur.
Ketiga,
Kaifa shabruk, sanggupkah kamu bersabar! Sanggupkah kamu bersabar menyaksikan apa yang akan dialami oleh ahli baitmu sepeninggalmu. Mereka akan dibantai.
Saudara terkasihmu Ali akan dihujat, dicaci- maki, disumpah-serapahi, dijauhi, dikafirkan, dan dizalimi oleh umatmu. Dan akhirnya dibunuh.
Dengan suara parau, dalam kerendahan diri penuh kepasrahan, al-Mushtafa berkata: “Aku terima, duhai Tuhanku. Aku rido dan aku pasrah. Dari Engkau juga taufik dan kesabaranku.”
Bersamaan dengan itu, Tuhan membuka lagi satu pintu berikutnya di masa depan.
Kedua Kekasih Tuhan itu Berpelukan (3)
Kedua tangan sepasang kekasih itu bergandengan
Menapaki lorong-lorong di luar kota Madinah
Melewati kebun-kebun yang indah
“Alangkah indah kebun ini, ya Rasul Allah”
Itu suara Ali bin Abi Thalib
"Kebun buatmu di surga lebih indah lagi”
Itu suara Rasul Allah
Dengarkan penuturan Ali
Salah seorang dari sepasang sejoli
“Setiap kali aku melewati kebun
Kuucapkan betapa indahnya
Rasulullah selalu menjawabnya
Kebun di surga buatmu lebih indah lagi
Sampailah aku melewati kebun yang ketujuh
Tiba-tiba Nabi, kekasihku, memeluk tubuhku
Ia meletakkan kepalanya yang mulia di pundakku
Ia menangis keras membasahi leher dan pundakku
‘Apa gerangan yang menyebabkan tangisanmu Ya Rasul Allah’
“Aku melihat kedengkian pada berbagai kaum
Yang akan mereka bukakan sepeninggalku”
“Apa yang harus aku lakukan, ya Rasul Allah!”
“Bersabarlah, sampai kau berjumpa denganku.”
“Apakah itu untuk keselamatan agamaku, ya Rasulullah.”
“Benar, untuk keselamatan agamamu.”
Kedua kekasih Tuhan itu berpelukan
Derai tangisan sebaik-baiknya insan
Memulai tragedi keluarga Nabi
Dari kebun di luar kata Madinah
Sampai puncaknya di padang gersang Karbala
Kedua kekasih Tuhan itu berpelukan
Dalam derai tangisan
Sejak itu sampai kini dan akhir zaman
Tangisan untuk agama yang harus diselamatkan
الم * أحسب الناس أن يتركوا أن يقولوا امنا وهم لا يفتنون
Alif. Laam. Miim. Adakah manusia mengira: Ia akan dibiarkan berkata, kami beriman padahal mereka tidak diterpa ujian!
Ali, murid terkasih dari gurunya yang terkasih, bertanya dengan penuh santun, “Ya Rasul Allah, apakah ujian yang disampaikan Allah kepada kami dalam ayat ini”
“Hai Ali, sepeninggalku, umatku akan diuji? Apakah iman mereka sejati?”
“Ya Rasul Allah, bukankah engkau pernah berkata padaku usai perang Uhud, ketika para sahabat banyak berguguran sebagai syuhada, sementara kesyahidan dilepaskan dariku dan dukaku hampir tak tertahankan,
“Berbahagialah hai Ali, karena kesyahidan menantimu sepeninggal aku.”
FA KAIFA SHABRUK! Sanggupkah kau bersabar!
Inilah firman Tuhan yang didengar Nabi pada waktu Mi’raj. Kalimat ini sekarang disampaikan Nabi saw dari bibirnya yang “wa ma yanthiqu ‘anil hawa, in huwa illa wahyuy yuhaa”, dari lidahnya yang tidak berbicara berdasarkan hawanafsunya, selain wahyu yang diterimanya!
“Ya Ali, fa kaifa shabruk? Sanggupkah kau bersabar!”
Ya Rasul Allah, aku bukan hanya akan bersabar. Nubuat itu aku akan terima sebagai berita gembira dan aku akan mensyukurinya!
“Hai Ali, nanti umat ini akan diuji dengan kekayaan. Mereka akan mengubah-ubah agama ini dan berharap Allah akan menerima agama mereka. Mereka menduga Allah akan menurunkan rahmat-Nya bagi mereka. Mereka merasa aman dari kemurkaan Tuhan. Lalu mereka halalkan yang haram dengan ajaran kebohongan dan nafsu yang kebablasan. Mereka halalkan khamar dan menyebutnya nabiz. Mereka halalkan korupsi dan menyebutnya hadiah. Mereka halalkan riba dan menamainya transaksi.”
Ya Rasulullah, apakah aku harus memperlakukan mereka sebagai orang yang keluar dari agama atau sebagai orang yang tertipu dengan fitnah cobaan.
“Sebagai orang yang tertipu dengan fitnah cobaan”.
Alangkah sabarnya Ali bin Abi Thalib. Seperti Abul Fuqara dan Masakin, dengan sabar ia melayani fakir miskin dan orang-orang yang menderita.
(masuk lagu : Tangan Amirul Mukminin)
Kepada sesama kaum muslimin yang memeranginya, Ali tidak henti-hentinya menyebarkan pesan perdamaian. “Apakah orang-orang yang memerangimu itu kafir?” tanya sahabat-sahabatnya. “Bukan,” kata Ali, “Mereka adalah saudara-saudara kita yang berbeda faham dengan kita.”
(masuk puisi : Belia dari Kufah)
***
Kaifa Shabruk…Kaifa Shabruk…Kaifa Shabruk?
Firman itu turun seperti sinar yang diterangkan, pada kitab yang dituliskan, untuk Nabi yang dibahagiakan. Anzalan nuur. Fi kitaabim masthuur ‘alan Nabiyim mahbuur. Firman itu turun kepada Nabi di alam jabarut. Sekarang kalimatullah hiyal ‘ulya menjadi kalimah al-Rasuul al-A’zham, disampaikan kepada Ali, sahabat yang paling dicintainya.
Bersamaan dengan itu, Tuhan membuka pintu duka ke arah kafilah derita, sepeninggal al-Mushtafa.
Di Kufah, dua puluhan tahun setelah wafat al-Mushtafa, serombongan orang saleh mengikuti singa sang penakluk… Ali bin Abi Thalib. Mereka memasuki kebun kurma dengan mayang-mayang yang berjuntai-juntai, seperti juntaian lampu-lampu di pinggir jalan. Ali meletakkan butir-butir ruthab, kurma basah dan segar, pada telapak tangan para sahabatnya, perkhidmatan Imam kepada para pecintanya.
Di bawah salah satu pohon kurma, di depan Ali, seorang lelaki mensyukuri lezatnya kurma, “Ya Amir al- Mukminin, maa athyaba hadzar ruthab! Enak betul rothab ini!”
Amirul Mukminin as sejenak menatapnya dengan tatapan penuh kasih. Ia menunjuk ke pohon korma yang masih muda di sampingnya.
“Ya Rusyaid, nanti kamu bakal disalibkan pada batang pohon ini. Ya Rusyaid, kayfa shabruk! Kelak akan datang aparat dari Ziyad bin Abih, penguasa kejam. Ia akan memanggilmu, menyuruh kamu berlepas diri dariku. Menyuruh kamu meninggalkan agamamu. Tapi kamu menolaknya. Mereka kemudian memotong kedua tanganmu, memotong kedua kakimu, dan memotong lidahmu. Akhirnya, mereka salibkan kamu di batang pohon kurma ini.
Kaifa shabruk!
Mampukahkamu menanggungnya ya Rusyaid? (Suara penuh cinta itu).
“Ya Amiral Mukminin, wa aakhira dzalika ilal jannah!”
يا رشيد أنت معي في الدنيا والآخرة
Ya Rusyaid, kamu bersamaku di dunia dan akhirat! (Masih suara yang yang penuh kasih itu)
Mata Rusyaid berbinar-binar. Di pelupuk matanya bergelegak air mata cinta.
Sejak itu, Rusyaid mengunjungi pohon kurma itu, menyiraminya dengan tekun. Pohon kurma itu menjadi pengikat antara ia dengan kekasihnya, antara ia dengan Rasulullah saw, antara ia dengan Allah swt.
Tidak lama setelah kepala yang mulia dari kekasihnya ditebas di mihrab Masjid Kufah, Rusyaid melewati pohon kurma itu. Daun-daunnya sudah dipangkas. Ia bergumam: Sudah dekat ajalku. Sungguh benar kekasihku.
Tiba-tiba datang seorang aparat kerajaan: “Kamu dipanggil Amir!” Ia melewati pohon kurma itu. Pohonnya sudah ditebang, dibelah menjadi dua – sebelah teronggok di depan istana, dan sebelah lagi dijadikan saluran alir. Ia bergumam lagi: Sungguh benar kekasihku!
Ziyad membentak: Hai orang tua pembohong, budak dari si pembohong.
“Aku bukan pembohong dan kekasihku, mawlaku, juga bukan pembohong”
“Apa yang dikatakan kawan kamu itu?”
“Ia berkata: Aku akan dipanggil kamu untuk berlepas diri dari mawlaku Ali bin Abi Thalib as. Aku pasti menolak tawaranmu. Kemudian kamu memotong kedua tanganku, menebas kedua kakiku, dan menggunting lidahku.”
“Aku buktikan kawan kamu itu bohong. Tebas kedua tangannya, kedua kakinya, dan biarkan lidahnya.”
Rusyaid tersenyum ketika pedang itu mengoyak- ngoyakkan tubuhnya, memotong satu demi satu tangannya; memisahkan satu demi satu kakinya. Qanwa, anak perempuan Rusyaid yang sangat disayanginya mengumpulkan potongan-potongan tubuhnya, menumpukkannya dalam pelukannya, sementara linangan airmata mengalir bersama genangan darah yang tiada henti-hentinya.
“Abah, tidakkah engkau rasakan sakit karena musibah ini.”
“Tidak anakku, kecuali seperti kepenatan di tengah-tengah desakan orang banyak.”
Kecintaannya kepada Ali, keyakinannya akan kebenaran ucapan kekasihnya, menghilangkan semua sakit dalam tubuhnya. Ia masih juga tersenyum, sedang dalam benaknya terbayang pandangan kasih dari mawlanya di kebun kurma dulu.
Sepanjang jalan ke rumahnya, sebongkah tubuh merah di atas punggung sahabatnya itu terus juga berkata, “Bawa pena dan kertas, tuliskan semua ucapanku, catat dengan cermat.
Bukankah aku pernah berkata, ada tiga orang kekasih Amirul Mukminin yang akan menemui kematian karena cintanya kepada Mawlaku? Yang seorang akan dilempar dari tempat tinggi, yang seorang akan meninggal di tempat tidurnya karena racun yang diminumnya, dan yang seorang akan dimutilasi tubuhnya. Ya Allah, jangan jadikan aku yang paling malang di antara ketiganya.
Bukankah sudah kalian saksikan kebenaran ucapanku, yang aku terima dari kekasih kaum mustadh’afin, Amirul Mukminin.
Kalian dengar pemimpin Murad yang saleh, sahabat Nabi saw yang mulia, tokoh Yaman di Kufah, Hani bin Urwah dibawa ke hadapan Muawiyah. Ia dipukuli pada hidungnya, pipinya, dan pelipisnya. Kalian lihat muka putihnya berubah menjadi merah. Lalu ia ditarik ke pasar dan dijatuhkan dari atap rumah yang tinggi. Semuanya karena kecintaannya kepada Aqil, Husain, Ali, dan Rasulullah saw.
Kalian dengar seorang pejuang yang piawai memainkan pedang dan sekaligus piawai membuat puisi. Ia hidup sederhana, walaupun menjadi panglima pasukan Ali. Ia habiskan malamnya dalam rukuk dan sujud. Ia gunakan siang harinya untuk melayani kaum tertindas. Di perjalanan menuju Mesir, ia diracun. Duhai betapa beruntungnya Malik Asytar. Ia telah membuktikan bahwa sabda sang Mawla memang benar.
Apakah aku lebih malang dari mereka. Aku seperti kalian saksikan. Aku sudah kehilangan kedua tangan dan kedua kakiku. Tetapi lidahku belum digunting. Aku yakin Imamku pasti benar.
Ketahuilah, aku, Urwah dan Malik menyaksikan Nabi saw mengangkat tangan Ali bin Abi Thalib dan berkata: Man kuntu mawlaah fahadza Aliyyun mawlaah. Catat: Siapa yang menjadikan aku pemimpinnya jadikan juga Ali ini sebagai pemimpinnya juga.”
Suaranya yang makin parau menghilang dalam suara hiruk pikuk. Utusan Ziyad bin Abih menyeruak, menerobos, menembus kerumunan orang. Ia membawa pedang. Di depan sebongkah tubuh tanpa tangan tanpa kaki ia berteriak: Patuhi Amir. Hentikan ocehanmu. Ulurkan lidahmu.
“Izinkan aku berbicara satu kalimat saja sebelum kau potong lidahku.”
Sambil melihat kepada pedang yang gemerlap di depan mulutnya, ia menarik nafas dan mengeluarkan kalimat terakhir:
والله جاء تصديق خبر أمير المؤمنين
Demi Allah, sekarang sudah datang bukti kebenaran hadis Amirul Mukminin.
Tangan anak buah Ziyad menarik keras lidah Rusyaid dan menyayatnya dengan pedang.
Malam itu, ruhnya yang suci dijemput kekasihnya, Imam Ali as. Meninggalkan sesungging senyum di wajahnya. Di ufuk alam malakut terdengarlagi suara sang Kekasih: Anta ma’i fid Dunyaa wa al-akhirah. Engkau bersamaku di dunia dan akhirat.
(masuk lagu : Ode para Syuhada)
Saudara, setelah itu, ratusan, ribuan, bahkan jutaan Rusyaid al-Hajari jatuh tersungkur membasahi tanah di bawahnya dengan genangan darahnya. Beberapa hari yang lalu, di dusun Rwaisyin, di Yaman, bom dijatuhkan di tengah-tengah kumpulan orang-orang yang sedang menangisi cucunda Nabi saw. Tubuh-tubuh ratusan orang tercabik-cabik dalam teriakan pilu, “Labbaika ya Husain.”
Peristiwa seperti ini terjadi di Jazirah Arab, di Bahrain, di Pakistan, di Nigeria, dan di negeri-negeri lainnya. Yang paling mengerikan dari semuanya adalah pembantaian pecinta keluarga Nabi saw di Iraq. Acara long march pertama, setelah jatuhnya Saddam, diporak porandakan dengan bom-bom yang diledakkan di tengah-tengah manusia-manusia yang berdesak-desakan. Tangan- tangan, kaki-kaki, dan potongan-potongan tubuh beterbangan. Ada ribuan Rusyaid yang diakhiri hidupnya karena teriakan “Labbaika ya Husain.” Ada jutaan umat manusia, dalam barisan panjang menuju Karbala yang mengantar para Rusyaid dengan teriakan, “Labbaika ya Husain.” (sahabat)
***
Firman itu turun seperti sinar yang diterangkan, pada kitab yang dituliskan, untuk Nabi yang dibahagiakan. Anzalan nuur. Fi kitaabim masthuur ‘alan Nabiyim mahbuur.
Ketiga,
Kaifa shabruk, sanggupkah kamu bersabar! Sanggupkah kamu bersabar menyaksikan apa yang akan dialami oleh ahli baitmu sepeninggalmu. Mereka akan dibantai.
Kaifa Shabruk…Kaifa Shabruk…Kaifa Shabruk?
Bersamaan dengan itu, Tuhan membuka pintu duka ke arah kafilah derita, sepeninggal al-Mushtafa.
Setelah di penghujung malam Al-Husain merebahkan tubuhnya di atas kuburan kakeknya Rasulullah saw, setelah ia basahi pusara Nabi saw dengan genangan airmatanya, sama seperti apa yang dilakukan ibunya Fathimah al-Zahra, al-Husain meninggalkan Madinah .
Di celah bukit Wada’i, di tsaniyyatil wada’, al-Husain memandang balik ke kota suci, mengenang hari-hari ketika ia dan kakaknya al-Hasan dibesarkan kakeknya Rasul Allah saw. Nabi saw turun dari mimbarnya, memagut ia dan kakaknya, dan membawanya ke mimbarnya. Mereka merasakan kehangatan cinta kakek, yang tidak henti-hentinya menciumi kepala mereka.
Masih terngiang di telinga al-Husain doa kakeknya di mimbar itu, di hadapan para sahabat Nabi saw,
اللهم اني أحبهما فأحبهما واحب من أحبهما. من أحبني فليحب هذين ريحانتاي فى الدنيا. من أحب الحسن والحسين أحببته ومن أحببته أحبه الله ومن أحبه الله أدخله الجنة
“Yaa Allah, aku mencintai keduanya, maka cintailah keduanya, ya Allah. Aku mencintai siapa yang mencintai keduanya. Barang siapa yang mencintaiku maka cintailah keduanya. Kedua anakku itu adalah bunga-bunga merkahku di dunia. Siapa yang mencintai al-Hasan dan al-Husain, aku akan mencintainya. Siapa saja yang aku cintai, Allah akan mencintainya. Siapa yang Allah cintai, Allah masukkan ia ke surga”
Kini, gubernur Madinah bermaksud untuk membunuhnya. Ia memaksa al-Husain untuk berbaiat kepada Yazid peminum khamar, pezinah, pembunuhyang tidak bersalah, yang sahabat dekatnya anjing dan kera. “Bagaimana orang sepertiku harus berbaiat kepada orang seperti dia.” Kata Imam Husain.
Samar-samar di kejauhan, ia melihat Umm Salamah, Ibn Abbas, abdullah bin Umar, dan sahabat-sahabat lainnya. Kepada mereka al-Husain berkata:
“Aku tidak meninggalkan Madinah karena ingin merebut kekuasaan atau ingin menyombongkan diri. Aku tidak meninggalkan Madinah untuk menimbulkan kerusakan dan melakukan kezaliman. Aku berangkat untuk memperbaiki agama kakekku yang sudah disimpangkan orang. Aku ingin memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaran.”
***
Saudara, sekarang saudara berada di Karbala, pada 10 Muharram 65 H.
Saudara, akhirnya sampailah kita pada ujung perjalanan kita, pada peristiwa targis dlam seluruh sejarah kemanusiaan. Saudara adalah saksi sejarah itu. Sekarang perhatikan baik-baik, arahkan pandanganmu pada silhuet cahaya yang sedang menengok kemah-kemah itu satu per satu. Ia mematung di depan kemahnya. Ia memandang ke medan peperangan. Ia melihat jenazah-jenazah berenang dengan tubuh-tubuh yang kaku dalam banjir darah. Kini ia menyendiri. Ia menengok kemah saudara-saudaranya, para putra Amirul Mukminin. Kemah itu kosong dan sepi. Ia menengok kemah Bani Aqil, saudara-saudara sepupunya. Ia menengok kemah-kemah para sahabatnya yang setia. Kemah-kemah itu juga kosong dan sepi.
Dari bibirnya yang suci itu kita mendengar ia mengulang zikir yang suci: La hawla wa la quwwata illa billah. Dari kemah Imam Husain, kita mendengar jeritan dan tangisan, perempuan-perempuan dan anak-anak.
Sesosok tubuh lemah keluar dari kemah. Ia bertelekan pada tongkat dan menarik pedangnya. Terseok-seok ia menyambut kedatangan ayahnya. Kita mendengar al-Husain berteriak: Ya ukhtaah, tahanlah dia. Supaya bumi ini tidak kosong dari keturunan Aali Muhammad! Zainab menariknya lagi ke tempat tidurnya. Disandarkannya tubuh Zainal Abidin ke dadanya. Dengan suara parau dan ternengah-engah ia bertanya: Ke manakah sahabat-sahabat kita dan sanak saudara kita
Al-Husain tersentak. Kata-katanya terselak di tenggorokannya yang mulia: “Di seluruh kemah itu tidak ada laki-laki kecuali aku dan kamu. Semua sudah gugur tersungkur ke bumi.”
Tiba-tiba Ali Zainal Abidin yang sakit berkata. Kali ini dengan suara yang dikeras-keraskan: Bibi, berikan padaku pedang dan tongkat?
Ayahnya berkata: “Untuk apa keduanya itu”
“Tongkatku untuk aku bertelekan padanya. Dan pedangku untuk melindungi putra Rasulullah saw”
Al-Husain melarangnya. Ia peluk putranya untuk terakhir kalinya: “Aku tidak akan melepaskanmu untuk berperang. Engkau hujjahku untuk ahlibaitku dan syiahku. Engkau harus mengembalikan perempuan-perempuan ini ke Madinah!
Kemudian, sambil memegang tangan Ali Zainal Abidin, Imam berkata dengan suara keras: Ya Zainab, Ya Umma Kultsum, ya Sukaynah, ya Ruqayyah, ya Fathimah, dengarkan pembicaraanku. Ketahuilah bahwa anakku ini adalah penerusku dan Imam yang diwajibkan atas kalian mentaatinya. Ya Zainab, Ya Umma Kultsum, ya Sukaynah, ya Ruqayyah, ya Fathimah, ‘alaikunna minni salaam, fa hadza akhirul ijtimaa’ wa qad qaruba minkunnal iftijaa’. Salam terakhir darfiku bagi kalian. Inilah akhir pertemuan. Sebentar lagi kalian akan dihempas gelombang derita.”
Kita mendengar tangisan, jeritan, raungan duka memenuhi kemah. Ketika al-Husain mau meninggalkan kemah, Zainab bergelantung pada tangannya yang mulia: Berhentilah sebentar, ya akhi, biar aku puaskan memandangmu. Ia menciumi tangannya dan kakinya. Semua perempuan mengikutinya, menciumi tangan dan kakinya. Imam al-Husain menyuruh mereka menghentikan tangisannya. Ia menyentuhkan jemarinya yang suci ke dada Zainab dan melantunkan doa-doa yang pilu. Sentuhan jemarinya memasukkan ketenangan dan kesabaran ke dalam hati sanubari Zainab.
“Tenanglah saudaraku, putra ibuku. Engkau pasti akan melihatku melakukan apa yang kausukai dan kauridoi”
Baru saja perempuan-perempuan itu masuk kemah, Zainab menyusul lagi kakaknya. Zainab teringat wasiat ibunya, az-Zahra: Jika nanti datang suatu hari, permata hatiku al-Husain mau maju ke medan perang, dan aku tidak bersama dia, sebagai penggantiku, ciumlah dia pada lehernya.
“Akhi tawaqqaf qaliilan hatta a’mala biwashiyyati ummi”
“Kakak, berhentilah sebentar sampai aku laksanakan wasiat ibuku”
Saksikan, al-Husain menyerahkan lehernya untuk dicium ibunya, yang diwakili saudaranya. Leher itu pernah diciumi Rasulullah saw. Leher itu pernah diciumi Fathimah az-Zahra. Leher itu pernah diciumi Amirul Mukminin. Sebentar lagi kita akan menyaksikan leher yang sama ...leher yang sama...leher yang agung dan suci itu.. ditebas pedang.
La hawla wa la quwwata illa billahil azhim. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Menangislah saudara untuk dia yang menyerahkan lehernya pada ciuman Rasulillah dan al-Zahra. Menangislah saudara untuk dia yang mempersembahkan kepalanya untuk menegakkan agama Rasulullah saw. Menangislah untuk dia yang meneriakkan suara umat tertindas sepnjang zaman: Jika agama Muhammad ini tidak tegak kecuali dengan membunuh aku, hai pedang-pedang tebaslah aku!
Biarkan air mata kita mengalir. Biarkan darah kita mengalir. Biarkan air mata dan darah kita bergabung dengan darah al-Husain, dengan air mata dan darah para putra al-Husain, dengan air mata dan darah sahabat-sahabat al-Husain, dengan air mata dan darah para syuhada yang melepaskan arwahnya di halaman al-Husain.
Ya Aba Abdillah, ‘alaika minna salaamullah abadan ma baqiina wa baqiyal laylu wan nahaar!
Catatan Kaki:
- Muhammad Musa Ramadhan, Nisaa hawla al-Rasuul saw, h. 16
- Hadis Shahih Muslim, Tafsir Ibn Katsir, …dst
- Al-Haitsami, Majma’ al-Zawaid, 9:118; Musnad Abi Ya’la, Musnad Ali, 1 # 565; Ibn Hajar, Al-Mathalib al-‘Aliyah, hadis # 4032; Al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-‘Ummal, 13:176; Al-Khawarizmi, al-Manaqib, h. 65; ibn Asakir, Tarikh Madinah Dimasyq, 42:322; Al-Dzahabi, Mizan al-I’tidal, 4:480.