KH. Dr. Jalaluddin Rakhmat
Ketua Dewan Syura IJABI
Ketua Dewan Syura IJABI
Pada suatu hari, Nabi saw menemukan seseorang yang tergeletak di pinggir jalan. Ia pingsan. Ketika Nabi saw bertanya kepada orang-orang yang mengelilinginya, ia diberitahu bahwa orang itu sedang berpuasa. Ia bersabda: Tidak termasuk kebaikan berpuasa dalam perjalanan (Nayl al-Awthar 4:287).
Bulan puasa ini aku punya pengalaman menarik. Aku diundang oleh seorang pendeta Kristen untuk berbuka bersama di rumahnya. Menjelang Magrib ruang tamu sudah dipenuhi oleh wakil dari berbagai agama dan aliran kepercayaan. Di samping agama-agama yang lazim, aku berjumpa juga dengan wakil-wakil Bahai dan ajaran Tao. Mereka adalah anggota perkumpulan yang membawa missi perdamaian di antara umat beragama dan berkepercayaan. Perkumpulan ini namanya Badan Perjuangan Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan.
Tentu saja hanya orang-orang Islam yang berpuasa, tapi kami berkumpul untuk berbuka bersama. Saya terharu karena yang memberikan jamuan makan adalah umat Kristiani. Yang menemai makan adalah sejawat dalam keluarga besar Tuhan. Kami mulai berbuka dengan bersama-bersama berdoa, bukan berdoa bersama (Jadi tidak melanggar fatwa Majlis Ulama). Kami berdoa dengan cara masing-masing.
Tuan rumah menyediakan mushalla. Kaum muslimin salat. Sejawat lainnya tidak mau makan sebelum kami selesai sembahyang. Suasana dipenuhi bukan saja dengan gelak tawa tapi juga diskusi tentang makna puasa dari perspektif berbagai agama dan kepercayaan. “Ibu pendeta memancarkan cinta kasihnya kepada kita,” kata Ketua BPKBB. Inilah pertemuan antar iman yang penuh kasih.
Aku terharu. Kaum Non-muslim telah memberikan penghormatan kepada kaum Muslim yang berpuasa. Tapi apakah kita sudah menghormati hak orang yang tidak berpuasa. Di dalam Al-Quran ada banyak orang Islam yang diberikan hak untuk tidak berpuasa: orang sakit, musafir, orang haid dan nifas, orang tua, perempuan hamil, perempuan yang menyusui, orang yang tidak sanggup berpuasa. Tentu saja yang tidak wajib berpuasa juga adalah semua saudara kita yang Nonmuslim. Mereka hidup bersama kita di tengah masyarakat yang majemuk. Apakah kita penuhi hak mereka untuk tidak berpuasa.
Pada suatu hari, Nabi saw menemukan seseorang yang tergeletak di pinggir jalan. Ia pingsan. Ketika Nabi saw bertanya kepada orang-orang yang mengelilinginya, ia diberitahu bahwa orang itu sedang berpuasa. Ia bersabda: Tidak termasuk kebaikan berpuasa dalam perjalanan (Nayl al-Awthar 4:287).
Hamzah bin ‘Amr bertanya: Ya Rasul Allah, saya mampu berpuasa dalam perjalanan, dosakah saya kalau berpuasa? Ia bersabda: Ini adalah keringanan dari Allah swt. Baguslah orang yang menerima keringanan ini. Siapa yang ingin berpuasa, berpuasalah! Tidak ada salahnya bagi dia (H.R Muslim dan Al-Nasai). Kata Al-Syawkani: Inilah dalil yang kuat tentang keutamaannya berbuka pada waktu bepergian.
Rasulullah saw menganggap mulia orang yang tidak berpuasa pada waktu safar. Dalam hadis Ibn Majah, bahkan Nabi bersabda, “Orang yang berpuasa pada waktu safar sama dosanya dengan orang yang tidak berpuasa ketika tidak bepergian”. Menurut para ulama, tentu saja hadis ini dikenakan bagi orang yang mengalami kesulitan dan kepayahan ketika berpuasa dalam perjalanan. Jadi bagi musafir, ada dua pilihan – berpuasa atau berbuka.
Kata Anas bin Malik, “Kami bepergian bersama Rasulullah saw. Sebagian kami ada yang berpuasa, sebagian lagi tidak berpuasa. Kami tidak saling mengejek satu sama lain (Nayl al-Awthar, hadis 1679).
Di antara para sahabat ada saling menghormati, tidak ada saling mencela. Di antara kita ada orang yang bukan saja mencela orang yang tidak berpuasa, bahkan menyerang mereka, menghukum mereka, dan memperlakukan mereka sebagai penjahat.
Aku melihat ada warung-warung makan yang diserbu dan seluruh makanannya disita. Dosanya? Karena warung-warung itu memberikan fasilitas kepada orang yang tidak berpuasa. Kita menganggap semua orang yang tidak berpuasa sebagai orang yang meninggalkan syariat Islam. Bagi sebagian kita, tidak berpuasa juga memenuhi peraturan ilahi, artinya, menjalankan syariat Islam. Tuhan berfirman: Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan, ia harus berpuasa pada hari-hari yang lain…(Al-Baqarah 184, 185).
Sekiranya musafir terpaksa untuk berpuasa padahal ia seharusnya tidak berpuasa, kita telah berbuat zalim kepadanya. Sekiranya ia pingsan di pinggir jalan, yang bertanggung jawab adalah orang-orang Muslim yang tidak memberikan fasilitas untuk makan kepada mereka. Tidak ada baiknya membiarkan musafir dalam keadaan lapar padahal ia berhak untuk tidak puasa.
Ada juga orang yang tidak berpuasa karena mereka bukan Muslim. Mereka tidak berpuasa karena mereka menjalankan kewajiban agamanya juga. Undang-undang dasar menjamin kebebasan beragama menurut agama dan kepercayaannya masing-masing. Ketika Al-Quran turun lebih dari seribu tahun yang lalu, di Madinah, dua orang anak Abu al-Hushayn tertarik masuk agama Kristen. Ia membawa kedua anaknya kepada Rasul Allah dan bertanya: Bolehkah saya memaksanya masuk Islam. Allah menjawab pertanyaan Abul Hushayn dengan firmanNya: Tidak ada paksaan dalam agama (Al-Thabarsi, Majma’ al-Bayân fi tafsîr Al-Qur-ân 1:630; Ridha, Al-Manâr 3:36
Tampaknya kita sudah jauh menyimpang dari tuntunan Al-Quran dan Sunnah; karena hatta untuk puasa pun kita sudah melakukan pemaksaan. Tidak jarang dengan tidak memenuhi hak-hak mereka. Hormatilah orang yang tidak berpuasa.
Tentu saja hanya orang-orang Islam yang berpuasa, tapi kami berkumpul untuk berbuka bersama. Saya terharu karena yang memberikan jamuan makan adalah umat Kristiani. Yang menemai makan adalah sejawat dalam keluarga besar Tuhan. Kami mulai berbuka dengan bersama-bersama berdoa, bukan berdoa bersama (Jadi tidak melanggar fatwa Majlis Ulama). Kami berdoa dengan cara masing-masing.
Tuan rumah menyediakan mushalla. Kaum muslimin salat. Sejawat lainnya tidak mau makan sebelum kami selesai sembahyang. Suasana dipenuhi bukan saja dengan gelak tawa tapi juga diskusi tentang makna puasa dari perspektif berbagai agama dan kepercayaan. “Ibu pendeta memancarkan cinta kasihnya kepada kita,” kata Ketua BPKBB. Inilah pertemuan antar iman yang penuh kasih.
Aku terharu. Kaum Non-muslim telah memberikan penghormatan kepada kaum Muslim yang berpuasa. Tapi apakah kita sudah menghormati hak orang yang tidak berpuasa. Di dalam Al-Quran ada banyak orang Islam yang diberikan hak untuk tidak berpuasa: orang sakit, musafir, orang haid dan nifas, orang tua, perempuan hamil, perempuan yang menyusui, orang yang tidak sanggup berpuasa. Tentu saja yang tidak wajib berpuasa juga adalah semua saudara kita yang Nonmuslim. Mereka hidup bersama kita di tengah masyarakat yang majemuk. Apakah kita penuhi hak mereka untuk tidak berpuasa.
Pada suatu hari, Nabi saw menemukan seseorang yang tergeletak di pinggir jalan. Ia pingsan. Ketika Nabi saw bertanya kepada orang-orang yang mengelilinginya, ia diberitahu bahwa orang itu sedang berpuasa. Ia bersabda: Tidak termasuk kebaikan berpuasa dalam perjalanan (Nayl al-Awthar 4:287).
Hamzah bin ‘Amr bertanya: Ya Rasul Allah, saya mampu berpuasa dalam perjalanan, dosakah saya kalau berpuasa? Ia bersabda: Ini adalah keringanan dari Allah swt. Baguslah orang yang menerima keringanan ini. Siapa yang ingin berpuasa, berpuasalah! Tidak ada salahnya bagi dia (H.R Muslim dan Al-Nasai). Kata Al-Syawkani: Inilah dalil yang kuat tentang keutamaannya berbuka pada waktu bepergian.
Rasulullah saw menganggap mulia orang yang tidak berpuasa pada waktu safar. Dalam hadis Ibn Majah, bahkan Nabi bersabda, “Orang yang berpuasa pada waktu safar sama dosanya dengan orang yang tidak berpuasa ketika tidak bepergian”. Menurut para ulama, tentu saja hadis ini dikenakan bagi orang yang mengalami kesulitan dan kepayahan ketika berpuasa dalam perjalanan. Jadi bagi musafir, ada dua pilihan – berpuasa atau berbuka.
Kata Anas bin Malik, “Kami bepergian bersama Rasulullah saw. Sebagian kami ada yang berpuasa, sebagian lagi tidak berpuasa. Kami tidak saling mengejek satu sama lain (Nayl al-Awthar, hadis 1679).
Di antara para sahabat ada saling menghormati, tidak ada saling mencela. Di antara kita ada orang yang bukan saja mencela orang yang tidak berpuasa, bahkan menyerang mereka, menghukum mereka, dan memperlakukan mereka sebagai penjahat.
Aku melihat ada warung-warung makan yang diserbu dan seluruh makanannya disita. Dosanya? Karena warung-warung itu memberikan fasilitas kepada orang yang tidak berpuasa. Kita menganggap semua orang yang tidak berpuasa sebagai orang yang meninggalkan syariat Islam. Bagi sebagian kita, tidak berpuasa juga memenuhi peraturan ilahi, artinya, menjalankan syariat Islam. Tuhan berfirman: Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan, ia harus berpuasa pada hari-hari yang lain…(Al-Baqarah 184, 185).
Sekiranya musafir terpaksa untuk berpuasa padahal ia seharusnya tidak berpuasa, kita telah berbuat zalim kepadanya. Sekiranya ia pingsan di pinggir jalan, yang bertanggung jawab adalah orang-orang Muslim yang tidak memberikan fasilitas untuk makan kepada mereka. Tidak ada baiknya membiarkan musafir dalam keadaan lapar padahal ia berhak untuk tidak puasa.
Ada juga orang yang tidak berpuasa karena mereka bukan Muslim. Mereka tidak berpuasa karena mereka menjalankan kewajiban agamanya juga. Undang-undang dasar menjamin kebebasan beragama menurut agama dan kepercayaannya masing-masing. Ketika Al-Quran turun lebih dari seribu tahun yang lalu, di Madinah, dua orang anak Abu al-Hushayn tertarik masuk agama Kristen. Ia membawa kedua anaknya kepada Rasul Allah dan bertanya: Bolehkah saya memaksanya masuk Islam. Allah menjawab pertanyaan Abul Hushayn dengan firmanNya: Tidak ada paksaan dalam agama (Al-Thabarsi, Majma’ al-Bayân fi tafsîr Al-Qur-ân 1:630; Ridha, Al-Manâr 3:36
Tampaknya kita sudah jauh menyimpang dari tuntunan Al-Quran dan Sunnah; karena hatta untuk puasa pun kita sudah melakukan pemaksaan. Tidak jarang dengan tidak memenuhi hak-hak mereka. Hormatilah orang yang tidak berpuasa.