Al-Ghazali membedakan dua macam ulama: ulama dunia dan ulama akhirat. Yang pertama adalah ulama buruk –ulama su’- yang menggunakan ilmunya untuk bersenang-senang dengan dunia atau untuk memperoleh kedudukan dan posisi. Yang kedua, ulama yang dimuliakan Islam. Al-Ghazali secara terperinci menjelaskan 12 karakteristik mereka. Dengan merujuk pada –tapi tidak sepenuhnya mengikuti- Ihya ‘Ulum al-Din 1:73-98 dan sumber-sumber lain seperti Kanz al-‘Ummal dan Al-Targhib, di sini kita justru mendaftar tiga karakteristik ulama dunia.
Bila Hanya untuk Duniawi. Misi ulama, menurut Sunnah Rasulullah SAW, ialah meneruskan misi para Rasul. Ia mencari, mengembangkan, dan menyebarkan ilmu demi ridha Allah SWT. Karena itu, Rasulullah SAW mengecam dengan keras ulama yang menjadikan tujuan hidupnya pada kehidupan mewah, popularitas atau kedudukan.
Tentang ulama yang mencari kemewahan dunia, Al-Ghazali menegaskan bahwa sebetulnya ulama sejati tidak akan mencintai dunia. Dengan kecintaannya kepada ilmu, dunia tidak lagi berarti baginya. Pada kenyataannya, tidak jarang kita melihat ulama yang mengorbankan agama dan ilmunya untuk kepentingan dunia. Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang mempelajari ilmu yang seharusnya dilakukan untuk mencari keridhaan Allah, ia mempelajari ilmu-ilmu itu untuk memperoleh harta-harta duniawi, ia tidak akan mencium bau surga pada hari kiamat” (Al-Targhib, 1:115). Dalam riwayat lain, Nabi SAW bersabda: “Celakalah umatku karena ulama buruk yang mengambil ilmu ini sebagai perdagangan. Mereka menjualnya kepada penguasa di zamannya untuk memperoleh keuntungan buat dirinya. Semoga Allah tidak memberikan keuntungan pada perdagangan mereka!” (Kanz al-‘Ummal, hadis 29084).
Para ulama yang memperlakukan ilmunya sebagai komoditas, untuk tujuan komersial, menderita kehinaanlah ia pada hari kiamat. Di dunia, Tuhan akan menghilangkan dari dirinya kelezatan untuk bermunajat dengan Dia. Rasulullah SAW bersabda: “Ada dua kelompok ulama umatku. Yang satu dianugerahi Allah ilmu, kemudian ia memberikan ilmunya kepada manusia dan tidak mengambil dunia dengan rakus dan tidak memperjualbelikannya. Kepada ulama yang demikian itu, akan berdoa semua burung di udara, ikan dalam air, binatang di permukaan bumi dan para malaikat yang mulia yang menulis amal manusia. Pada hari kiamat, ia akan dihadapkan kepada Allah sebagai penghulu yang mulia sehingga bergabung dengan para utusan. Sementara yang lain, yang dianugerahi ilmu di dunia ini, tetapi kikir dengan ilmunya itu sehingga tidak memberikannya kepada hamba-hamba Allah. Ia menggunakan ilmunya untuk mengambil dunia dengan rakus dan memperjualbelikannya. Ulama yang demikian itu akan datang pada hari kiamat dalam keadaan dikekang dengan kekang api neraka” (Ihya, 1:76).
Dalam hadis Qudsi, Tuhan bersabda kepada Nabi Daud as: Serendah-rendahnya yang Kulakukan kepada seseorang yang berilmu, yang mengutamakan nafsunya di atas kecintaan kepada-Ku, ialah menghilangkan darinya kelezatan bermunajat kepada-Ku. Hai Daud, janganlah bertanya kepada-Ku tentang seorang berilmu yang telah mabuk dunia. Lalu ia memalingkan kamu dari jalan menuju-Ku. Para ulama seperti itu adalah perampok yang menghadang di jalan-jalan hamba-Ku. Hai Daud, jika kamu melihat orang yang mencari ilmu karena Aku, jadilah kamu pembantunya. (Ihya, 1:75).
Karena hadis-hadis seperti itu, para ulama salaf hidup sederhana. Karena tidak mencari dunia, mereka tidak bergantung pada penguasa atau orang-orang kaya. Mereka berani menyampaikan kebenaran dan menyuarakan penderitaan umatnya. Mereka tidak memoles pesan-pesan agama untuk menyenangkan para sponsornya. Setelah terikat dengan kepentingan dunia, terjadilah degradasi pada integritas ulama dan pesan agama yang disampaikannya. Ulama kehilangan keberaniannya. Mereka mengonstruksi agama dengan memperhatikan pangsa pasar. Pesan agama diturunkan dari “high culture” menjadi “pop culture”. Ulama tidak menuntun, tetapi dituntun oleh umatnya. Ketika umat menyukai pesan agama yang menghibur, para ulama menjadi qashahun (tukang-tukang dongeng).
Mendekati Penguasa Lalim. Pada mulanya, agak mengherankan melihat para pengumpul hadis melarang ulama mendekati penguasa. Al-Ghazali menulis, “Di antara tanda-tanda ulama akhirat ialah menjauhkan diri dari para penguasa. Ia tidak mau masuk ke lingkungan penguasa selama ia bisa menghindarkannya. Bahkan sepatutnya ia menjaga diri, tidak bergaul dengan mereka, meskipun mereka datang | Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang mempelajari ilmu yang seharusnya dilakukan untuk mencari keridhaan Allah, ia mempelajari ilmu-ilmu itu untuk memperoleh harta-harta duniawi, ia tidak akan mencium bau surga pada hari kiamat” |
Berikut ini kita kutipkan hadis-hadis yang relevan dengan merujuk pada Kanz al-‘Ummal 10:183-194: Ulama adalah kepercayaan para Rasul selama mereka tidak bergaul dekat dengan penguasa. Jika mereka sudah bergaul dekat dengan penguasa, dan masuk ke dalam dunia, maka mereka sudah mengkhianati para Rasul. Berhati-hatilah kepada mereka (28953). Fuqaha adalah kepercayaan para Rasul selama tidak memasuki dunia dan mengikuti penguasa. Jika mereka melakukan itu, berhati-hatilah kalian menghadapinya (28954). Rusaknya agama karena tiga orang: faqih yang durhaka, pemimpin yang zalim, dan mujtahid yang jahil (28954). Jika kamu melihat orang berilmu yang banyak bergaul dengan para penguasa, ketahuilah ia pasti pencuri (28973).
Dan inilah hadis-hadis semacam yang dikutip Al-Ghazali: Akan datang kepada kalian penguasa yang kamu kenal dan kamu tentang. Maka barangsiapa menentangnya, ia terlepas darinya. Barangsiapa yang membencinya, ia selamat. Tetapi barangsiapa yang senang kepadanya dan mengikutinya, ia dijauhkan dari Allah SWT. Para sahabat bertanya: “Bolehkah kami perangi mereka?” Rasulullah SAW berkata: “Jangan, selama mereka melakukan shalat.”
Diriwayatkan, Hudzaifah berkata: “Jauhilah oleh kalian tempat-tempat fitnah.” Ketika ditanyakan tentang apa tempat-tempat itu, ia menjawab: “Pintu-pintu para penguasa. Ia membenarkan kebohongan penguasa itu dan berkata yang tidak sebenarnya” (Ihya, 1:83). Kepada Al-A’masy, orang berkata: “Engkau sudah menghidupkan ilmu dengan banyaknya orang yang berguru kepadamu.” Al-A’masy berkata: “Jangan tergesa-gesa memberikan penilaian! Sepertiga dari mereka mati sebelum mengerti. Sepertiga lagi banyak berkunjung kepada para penguasa sehingga jadilah mereka makhluk yang paling jelek. Sepertiga sisanya tidak beruntung, kecuali sedikit saja di antara mereka.” Karena itulah, Sa’id bin Musayyab berkata: “Jika kamu melihat seorang berilmu berjalan ke tempat para penguasa, berjaga-jagalah. Ia itu pencuri!” (Ihya, 1:84).
Al-Ghazali menutup pembicaraan tentang bahaya bergaul dengan penguasa, dengan berkata: “Inilah fitnah besar bagi ulama dan alat setan yang paling berat dilawan penguasa. Terutama sekali bagi ulama yang mempunyai cara berbicara yang disukai orang dan tutur katanya memikat. Setan tidak henti-hentinya berbisik kepada mereka: Nasihatmu kepada para penguasa dan pergaulanmu dengan mereka akan mencegah mereka berbuat zalim dan menyemarakkan syiar agama. Akhirnya dikhayalkanlah kepada mereka bahwa pergaulan dengan para penguasa itu bagian dari perjuangan agama. Kemudian, setelah dekat dengan penguasa, ulama itu pun mulai bersikap lemah-lembut dalam pembicaraan, berminyak air, menjilat dan mencari muka. Di sinilah hancurnya agama” (Ihya, 1:84).
Cepat Menjatuhkan Vonis. Salah satu ciri ulama dunia ialah tergesa-gesa memberikan fatwa. Sebelum ia menyelidik Al-Qur’an dan Sunnah, sebelum cukup informasi, ia sudah menjatuhkan vonis. Ulama akhirat, seperti dicontohkan para sahabat lulusan “madrasah” Rasulullah SAW, sangat berhati-hati dalam memberikan fatwa. Makin tinggi ilmunya, makin berhati-hati ia dalam memberikan fatwa. Ia tidak akan mudah mengkafirkan golongan yang lain, sebelum ia mendalami paham golongan itu. Ia tidak merasa dirinya yang paling benar, karena ia tahu betapa luasnya ilmu Tuhan. Ia sering menjawab pertanyaan orang dengan “Saya tidak tahu!” Sebaliknya, makin jahil seseorang, makin cepat ia mengeluarkan fatwa. Ia pun makin merasa tahu dan makin berani menjawab pertanyaan. Al-Ghazali mengutip pendapat sebagian ulama: “Orang yang paling cepat memberikan fatwa ialah orang yang paling sedikit ilmunya. Orang yang paling keras menolak memberikan fatwa ialah orang yang paling menjaga diri.”
Menurut Rasulullah SAW, orang yang cepat berfatwa sebenarnya tidak disebut ulama. Beliau menyebut mereka “ruasa-a juhala” (tokoh-tokoh jahil). Beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak mengambil ilmu begitu saja dengan mencabutnya dari manusia. Tetapi Ia mematikan para ulama. Ketika ulama sudah tiada, manusia mengambil tokoh-tokoh jahil. Mereka ditanya, lalu memberikan fatwa tanpa ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan manusia dari jalan yang lurus. Akan keluar pada akhir zaman sekelompok tokoh jahil. Mereka memberikan fatwa kepada manusia. Mereka sesat dan menyesatkan.” (Kanz al-‘Ummal, 29096, 29115). “Kalian –maksudnya sahabat-sahabat Nabi- hidup dalam suatu zaman ketika fuqaha (orang yang mengerti) banyak, tapi para pembaca (qura-uh) dan pengkhotbah sedikit. Sedikit yang bertanya dan banyak yang memberi. Pada zaman seperti ini, amal lebih baik daripada ilmu. Nanti akan datang suatu zaman ketika fuqaha-nya sedikit. Tapi para pengkhotbahnya banyak. Sedikit yang dapat memberikan ilmu, tapi banyak yang memintanya. Pada waktu itu, ilmu lebih baik daripada amal” (Ihya, 1:17). [JR]
Tulisan ini dimuat di Majalah UMMAT dalam Rubrik SUNNAH oleh Musthafa Syauqi dengan judul “Ulama Dunia”