Apa yang harus dilakukan kalau tidak ada jamaah? Pertanyaan inilah yang menjadi judul salah satu bab dalam Shahih al-Bukhari. Untuk menjawab pertanyaan itu, Bukhari menurunkan hadis dari Hudzaifah bin al-Yaman. Begini kisahnya.
Hadis Bukhari ke-7083 ini –menurut hitungan Ibn Hajar al-Asqalani- banyak dirujuk ketika menjelaskan keharusan ada jamaah dan imam. Bersamaan dengan hadis ini, disampaikan juga hadis berikut: Siapa yang berpisah dari jamaah muslimin sejengkal saja, lepas dari kuduknya ikatan Islam. Siapa yang berpisah dari jamaah sejengkal, dia berpisah dari Islam. Siapa yang berpisah dari jamaah, bunuhlah dia. Siapa yang berpisah dari jamaah, dia mati dengan kematian jahiliyah.
Pertanyaan Hudzaifah tersebut berkenaan dengan apa yang harus dilakukan kalau terjadi hal-hal buruk di dalam masyarakat Islam. Rasulullah SAW menjawabnya dengan menyuruhnya bergabung dengan jamaah muslimin dan imam mereka. Tapi, pertanyaan kita, apakah yang dimaksud dengan jamaah itu? Kita tidak ingin lepas dari Islam, apalagi mati jahiliyah. Kita ingin bergabung dalam jamaah. Tapi, siapa jamaah itu?
Al-Thabari: arti jamaah. Ibn Hajar al-Asqalani mengutip Al-Thabari tentang perbedaan pendapat kalangan para ulama berkenaan pengertian jamaah ini. Sebagian berpendapat bahwa jamaah itu artinya mayoritas masyarakat. Sebagian lagi mengatakan jamaah itu generasi sahabat dan bukan generasi sesudah mereka. Yang lain lagi menyebut ahli ilmu sebagai jamaah karena umat Islam harus mengikuti mereka dalam urusan agama. Tapi Al-Thabari menolak semua pendapat itu dan mengatakan, yang benar adalah kewajiban mengikuti jamaah yang mentaati seseorang yang mereka sepakati untuk memerintah mereka. Jika orang melanggar baiat itu, ia keluar dari jamaah. Jika tidak ada ikutan (imam) dan masyarakat bercerai-berai menjadi berbagai golongan, maka janganlah kita mengikuti golongan manapun. Kita harus meninggalkan mereka sejauh kemampuan kita, supaya kita tidak jatuh pada keburukan.
Menurut Al-Thabari, jamaah berarti kesatuan sosial yang sudah mencapai kesepakatan untuk dipimpin oleh seseorang. Mereka ber-baiat kepadanya. Tidak ada jamaah, berarti tidak ada masyarakat yang disatukan oleh seorang pemimpin. Bila tidak ada satuan sosial seperti itu, dan tidak ada pemimpin yang mempersatukan mereka, kita mengasingkan diri saja. Dalam prakteknya, umat bisa saja terdiri dari berbagai macam satuan sosial dengan pemimpinnya masing-masing. Umat bisa terdiri dari berbagai jamaah. Dan setiap jamaah ber-baiat kepada pemimpinnya (imamnya). Setiap jamaah tentu saja mengaku kelompoknya sebagai kelompok yang benar. Imamnya adalah imam yang absah. Tidak bergabung dengan mereka, berarti mati jahiliyah. Bila Anda ber-baiat kepada Fulan tetapi bergabung dengan jamaah Fulanah, tidak mungkin juga Anda bergabung dengan keduanya sekaligus.
Jadi, dengan penjelasan Al-Thabari, hadis jamaah ini bahkan menimbulkan kebingungan. Dari penafsiran hadis seperti inilah muncul kelompok-kelompok eksklusif, kelompok-kelompok yang saling menafikan. Dari sinilah bermula perpecahan umat, yang disebut oleh para ahli hadis sebagai “fitan”-bentuk jamak dari fitnah. Fitnah disini bukan berarti tuduhan dusta, tetapi goncangan sosial yang membuat orang kehilangan arah. Dr Thaha Husain, | Memang, hadis-hadis yang berkenaan dengan kewajiban mengikuti jamaah diletakkan para ahli hadis pada bab “al-fitan”. Mereka sebenarnya mengingatkan kita bahwa jamaah harus dipelihara untuk menghindarkan fitnah perpecahan. |
Menjaga kesatuan umat. Dengan memperhatikan konteks hadis, kita dapat memastikan bahwa jamaah berarti kesatuan umat, keutuhan masyarakat Islam secara keseluruhan. Lawan jamaah adalah furqah (perpecahan). Perhatikan hadis-hadis berikut ini. Hadis-hadis itu, setelah dicantumkan nomor hadis dalam Kanz al-‘Ummal, mengatakan: Wahai manusia, peliharalah jamaah dan jauhilah perpecahan (1028); setan adalah serigalanya manusia. Seperti serigala yang menerkam ternak, setan menerkam kambing yang menyempal, yang terpisah dari jauh kawanannya. Hendaknya kamu berada dalam jamaah, persaudaraan, masyarakat dan masjid-masjid. Jauhilah olehmu perpecahan (1027); siapa yang memecah belah persatuan kaum muslimin, walaupun sejengkal, ia sudah melepaskan ikatan Islam dari pundaknya. Siapa yang mati dan tidak mempunyai imam, kematiannya adalah kematian jahiliyah. Siapa yang mati di bawah bendera kelompok, menyeru orang pada pengelompok, dan membela kepentingan kelompok, ia mati jahiliyah (1037); siapa yang ingin tinggal dalam kenikmatan surga hendaknya ia memelihara jamaah, karena setan senang dengan orang yang suka menyendiri (1033); siapa yang memecah belah persatuan Islam, padahal kaum muslimin sudah bersatu dalam keislamannya, ia sudah melepaskan ikatan Islam dari pundaknya (1036).
Dalam Musnad Ahmad, melalui riwayat banyak sahabat, perintah memelihara jamaah termasuk di antara wasiat Nabi SAW pada Haji Wada’. Perintah ini sebelumnya ditegaskan Nabi dalam futuh Mekkah (kemenangan Mekkah).
Di Masjid Khaif, Mina, di depan jamaah haji yang pertama, Rasul Allah bertanya: Tahukah kalian hari apakah ini? Sahabat menjawab: Hari yang haram (mulia). Bulan apakah ini? Bulan yang haram (mulia). Negeri apakah ini? Negeri yang haram (mulia). Nabi SAW menegaskan: Sesungguhnya darah kamu, harta kamu, dan kehormatan kamu, sama mulianya dengan hari ini, bulan ini dan negeri ini. Aku haramkan bagi kalian menumpahkan darah orang Islam, merampas harta mereka, dan menjatuhkan kehormatan mereka. Semua kebanggaan kelompok dan tradisi jahiliyah telah kuletakkan di bawah kedua telapak kakiku. Setiap muslim adalah saudara muslim yang lain. Tidak boleh seorang muslim membongkar aib muslim yang lain. Tidak boleh mengkhianati dan menggunjingnya. Darah dan apapun miliknya tidak boleh dirampas, kecuali ia sendiri yang memberikannya. Janganlah kamu kembali kepada kekafiran dengan saling bunuh sesama kamu. Semoga Allah melindungi siapa saja yang mendengarkan pembicaraanku dan menyimpannya, kemudian ia menyampaikan seperti apa yang didengarnya. Betapa banyaknya orang yang menyampaikan pengertian tanpa ia sendiri mengerti. Dan betapa banyak orang yang menyampaikan pengertian kepada orang yang lebih mengerti. Ada 3 hal yang tidak boleh hilang dari hati seorang mukmin: keikhlasan dalam beramal, kesetiaan yang tulus kepada pemimpin yang mengatur urusan mereka, dan keterikatan pada kesatuan umat (luzum al-jama’ah).
Dari sabda Nabi tersebut kita menyimpulkan 3 akhlak mukmin dan 3 akhlak munafik. Orang munafik tidak ikhlas dalam beramal, tidak setia kepada pemimpin mereka, dan tidak ingin umat bersatu. Mereka disebut Nabi SAW sebagai pendakwah yang mengajak orang ke pintu-pintu jahanam. Orang mukmin beramal tidak untuk membela kepentingan dirinya, kelompoknya atau keluarganya. Ia beramal untuk menegakkan Islam dan membela kaum muslimin. Ia mencintai pemimpinnya dengan kecintaan yang tulus, selama pemimpinnya berjuang di jalan yang benar. Di mana pun ia berada, ia berusaha menjaga kesatuan umat Islam. Di kampung yang seluruh penduduknya mengikuti NU, misalnya, ia akan menjadi seorang NU. Di kampung lain yang kegiatan Islamnya disemarakkan oleh Muhammadiyah, ia akan mendukung Muhammadiyah sepenuhnya. Tapi, apakah ia tidak mempunyai pendirian? Justru itulah pendiriannya: Ia tegak di atas kepentingan Islam dan berjuang untuk kesatuan umat Islam. [JR]
Tulisan ini dimuat di Majalah UMMAT dalam Rubrik SUNNAH oleh Musthafa Syauqi dengan judul “Hadis Jamaah”