****
Apa sebetulnya yang kau kehendaki. Jika kau inginkan harta, akan kami kumpulkan kekayaan dan engkau menjadi orang terkaya diantara kami. Jika kau inginkan kemuliaan, akan kami muliakan engkau sehingga engkau menjadi orang yang paling mulia. Kami tidak akan memutuskan sesuatu tanpa meminta pertimbanganmu. Atau, jika ada penyakit yang mengganggumu, yang tidak dapat kau atasi, akan kami curahkan semua perbendaharaan kami sehingga kami dapatkan obat untuk menyembuhkanmu. Atau mungkin kau inginkan kekuasaan, kami jadikan kamu penguasa kami semua.”
Nabi saw mendengarkan dengan sabar. Tidak sekalipun beliau memotong pembicaraannya. ketika Utbah berhenti, Nabi bertanya, “Sudah selesaikah ya Abal Walid?”, Utbah menjawab “Sudah”. Nabi membalas ucapan Utbah dengan membaca surat Fushilat: “Ha mim. Diturunkan al-Qur'an dari Dia yang Mahakasih Mahasayang, sebuah kitab, yang ayat-ayatnya dijelaskan. Qur'an dalam bahasa Arab untuk kaum yang berilmu.....” Nabi saw terus membaca. Ketika sampai ayat sajdah, ia bersujud.
Sementara itu Utbah duduk mendengarkan sampai Nabi menyelesaikan bacaannya. Kemudian, ia berdiri. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Kaumnya berkata, “Lihat, Utbah datang membawa wajah yang lain.”
Utbah duduk di tengah-tengah mereka. Perlahan-lahan ia berbicara, “Wahai kaum Quraisy, aku sudah berbicara seperti yang kalian perintahkan. Setelah aku berbicara, ia menjawabku dengan suatu pembicaraan. Demi Allah, kedua telingaku belum pernah mendengar ucapan seperti itu. Aku tidak tahu apa yang diucapkannya. Wahai kaum Quraisy! Patuhi aku hari ini. Kelak boleh kalian membantahku. Biarkan laki-laki itu bicara. Tinggalkan dia. Demi Allah, ia tidak akan berhenti dari gerakannya. Jika ia menang, kemuliannya adalah kemulianmu juga.”
Orang-orang Quraisy berteriak, “Celaka kamu, hai Abul Walid. Kamu sudah mengikuti Muhammad”. Orang Quraisy ternyata tidak mengikuti nasihat Utbah (Hayat al-Shahabah 1:37-40; Tafsir al-durr al-Mansur 7:309, Tafsir Ibn Katsir 4:90, Tafsir Mizan 17:371). Mereka memilih logika kekuatan, dan bukan kekuatan logika.
Peristiwa itu sudah lewat ratusan tahun yang lalu. Kita tidak heran bagaimana Nabi Saw dengan sabar mendengarkan pendapat dan usul Utbah, tokoh musyrik. Kita mengenal akhlak Nabi dalam menghormati pendapat orang lain. Yang menakjubkan kita adalah perilaku kita sekarang. Bahkan oleh Utbah, si musyrik, kita kalah. Utbah mau mendengarkan Nabi saw. dan menyuruh kaumnya membiarkan Nabi berbicara. Jangankan mendengarkan pendapat kaum kafir. Kita bahkan tidak mau mendengarkan pendapat saudara kita sesama muslim. Seperti pembesar-pembesar Quraisy, kita lebih sering memilih shoot it out!