“Bukankah itu menunjukkan bahwa setiap perbuatan yang harus dilakukan oleh mukallaf –dan Nabi SAW tidak menentukan dengan tegas cara-cara dan urutannya- pelaksanaannya lebih luas. Setiap mukallaf dapat melakukannya sesuai dengan keyakinannya,” tulis Muhammad Jalil Isa ketika mengomentari hadis ini (lihat kitabnya, Ma la Yajuz Fihi al-Khilaf, hlm.66). Sebagai Rasul Allah, Nabi SAW berhak menentukan mana-mana cara dan urutan haji yang benar. Tapi beliau malah menyerahkannya kepada pertimbangan praktis para pengikutnya. Bandingkan perilaku Nabi SAW ini dengan sebagian besar kita. Tak ada hak pada kita untuk menentukan mazhab fikih yang benar atau salah, tapi kita malah menetapkan hanya cara dan urutan ibadah haji seperti yang kita amalkan saja yang benar. Dengan mengutip ucapan para sahabat, kita masing-masing berkata, “Nahnu ashwab (kamilah yang benar)”.
Ketika Nabi SAW berkata if’al, la haraj, beliau bukan saja mengajarkan penghargaan pada pemahaman agama yang berbeda. Beliau juga menunjukkan bahwa yang paling penting dari ibadah haji bukanlah ritus-ritus formalnya, melainkan hakikatnya. Ritus-ritus itu, walaupun tidak boleh ditinggalkan, hanyalah wahana untuk tujuan haji yang sebenarnya. Kita tak perlu mempertentangkannya. Yang perlu dibicarakan adalah bagaimana membersihkan ibadah haji kita dari kata-kata kotor, kefasikan, dan pertengkaran, apapun alasannya. Inilah yang disebut adab haji atau rahasia haji (asrar al-hajj).
Keutamaan Haji. Banyak hadis menjelaskan keutamaan ibadah haji dan tempat-tempat yang mulia, yang diziarahi jamaah haji: Barangsiapa yang haji ke Baitullah, kemudian tidak berkata kotor dan tidak berbuat dosa, ia keluar dari dosanya seperti ketika ia keluar dari perut ibunya. Barangsiapa yang meninggal di salah satu Haramain (Mekkah dan Medinah), ia tidak akan dihadapkan kepada pengadilan Tuhan, tidak akan diperiksa, dan akan dikatakan kepadanya, “Masuklah ke sorga.”
Orang-orang yang berhaji adalah rombongan Tuhan dan para peziarah-Nya. Jika mereka meminta, Tuhan akan mengabulkan permintaannya. Jika mereka meminta ampunan, Tuhan akan mengampuninya. Jika mereka berdoa, Tuhan akan mengabulkannya. Jika mereka meminta syafaat mereka akan diberi syafaat (lihat Kitab Rahasia Haji, Ihya ‘Ulum al-Din, juz 1).
Semua keutamaan haji ini hilang bila orang meninggalkan adab batiniahnya. Haji adalah safar ruhani menuju Allah SWT. Menurut Imam Al-Ghazali, orang tidak akan mencapai Tuhan tanpa meninggalkan kelezatan syahwat dan keterikatan pada hawa nafsu. Dahulu, untuk mencapai Tuhan, para pendeta meninggalkan tanah airnya, mengembara dengan menanggung berbagai kesulitan. Mereka hidup sederhana sambil merendahkan dirinya di hadapan kebesaran Allah. Boleh jadi mereka berpakaian kusam dan berambut kusut masai, berkelana dalam perjalanan panjang mencari Tuhan.
Ketika Nabi SAW ditanya para pemeluk agama terdahulu tentang kependetaan dan pengembaraan, beliau berkata: “Allah sudah menggantikannya untuk kami dengan jihad dan takbir pada setiap tempat yang mulia.” Yang dimaksud Nabi dengan jihad dan takbir ini adalah haji. Dalam ibadah haji, setiap Muslim menjalani kehidupan kependetaan. Bukankah ketika wuquf di Arafah, Tuhan membanggakan jamaah haji di hadapan para malaikat-Nya: Hamba-hamba-Ku datang kepada-Ku dengan rambut kusut masai dari setiap sudut negeri yang jauh. Wahai hamba-hamba-Ku, bubarlah dari Arafah dengan ampunan-Ku atas kamu. Jamaah haji adalah jamaah pendeta, rombongan orang suci.
Sepuluh Rahasia Haji. Untuk menjalankan tugas kependetaan itu, selain memperhatikan ritus-ritus haji, jamaah haji harus menjaga adab-adab batiniah ibadah haji. Al-Ghazali menyebutkan sepuluh etika haji. Pertama, hendaknya ia berhaji dengan harta yang halal. Ia harus meninggalkan perhatian pada urusan pekerjaan dan bisnisnya. Ia harus mencurahkan perhatiannya semata-mata kepada Allah. Rasulullah SAW pernah menubuatkan jenis-jenis haji pada akhir zaman: “Pada akhir zaman nanti, manusia yang keluar melakukan ibadah haji terdiri dari empat macam. Para pejabat haji untuk pesiar, pedagang untuk berniaga, orang miskin untuk mengemis, dan ulama untuk kebanggaan.
Kedua, hendaknya ia berusaha untuk tidak menyerahkan dirinya diperas orang-orang yang mengganggu jamaah haji. Tentang itu, Al-Ghazali menyebutkan para perompak zaman dulu yang merampok jamaah haji di perjalanan. Ia mengutip pendapat para ulama bahwa lebih baik meninggalkan sunnat haji daripada mendukung kezaliman. Ketiga, hendaknya ia tidak memboroskan bekalnya untuk makan dan minum yang mewah atau membeli kelezatan-kelezatan di perjalanan, Ia harus banyak menggunakan hartanya untuk bersedekah, menolong orang lain, atau memberikan bekal pada teman seperjalanan. Keempat, hendaknya ia meninggalkan segala macam akhlak yang tercela –kekejian dan kefasikan, serta perdebatan dan perbantahan. Yang termasuk kekejian adalah berkata kotor, kasar, atau yang menusuk perasaan. Juga bedusta, memfitnah, menipu. Kelima, diutamakan memperbanyak berjalan. Sekarang ini mungkin lebih baik meninggalkan Arafah dan menuju Muna dengan berjalan kaki daripada dengan kendaraan. Dengan berjalan kaki, ia akan sempat tidur di Muzdalifah dan pagi-pagi berangkat menuju Muna. Sudah bisa dipastikan bahwa mereka akan tiba di Muna lebih cepat dari orang yang menyewa kendaraan.
Keenam, karena berkaitan dengan jenis kendaraan masa lalu, kita tidak menyebutkannya di sini. Ketujuh, hendaknya ia berpakaian sederhana dan meninggalkan tanda-tanda kesombongan dan kemewahan. Bukankah pada waktu ihram, kita dianjurkan untuk tidak menyisir rambut sehingga rambut kita akan kelihatan kusut masai. Haji dimaksudkan untuk membesarkan Allah dan mengecilkan diri kita. Kedelapan, berkenaan dengan unta, yang tidak relevan pada waktu sekarang. Kesembilan, berkenaan dengan kewajiban untuk berkorban dan membagikan dagingnya kepada fakir miskin. Kesepuluh, hendaknya ia bersabar untuk menerima musibah apapun saat melakukan ibadah haji. Ia bersabar atas musibah yang menimpa badannya atau bila ia kehilangan hartanya.
Rahasia haji dari Al-Ghazali sebetulnya menggambarkan perspetif sufi. Ratusan tahun sebelum Al-Ghazali lahir, Imam Ja’far Al-Shadiq ra., tokoh besar dalam dunia tasawuf, memberikan nasehat kepada para jamaah haji: “Jika engkau berangkat haji, kosongkanlah hatimu dari segala urusan, dan hadapkanlah dirimu sepenuhnya kepada Allah. Tinggalkan setiap penghalang dan serahkan urusanmu kepada Penciptamu. Bertawakkallah kepadanya dalam setiap gerak dan diammu. Berserah dirilah pada ketentuanNya, hukum-hukumNya, dan takdirNya. Tinggalkan dunia, kesenangan dan seluruh makhluk. Keluarlah dari kewajiban yang dibebankan kepadamu dari mahluk Tuhan. Janganlah bersandar pada bekalmu, kendaraanmu, sahabatmu, kekuatanmu, kemudaanmu dan kekayaanmu.
Buatlah persiapan seakan-akan engkau tidak akan kembali lagi. Bergaullah dengan baik. Jaga waktu-waktu dalam melaksanakan kewajiban yang ditetapkan Allah SWT dan Sunnah Nabi SAW, berupa adab, kesabaran, syukur, kasih sayang, kedermawanan, mendahulukan orang lain sepanjang waktu. Bersihkan dosa-dosamu dengan air taubat yang ikhlas.
Pakailah pakaian kejujuran, kesucian, kerendahan hati, dan kekhusyukan. Berihramlah dengan meninggalkan segala sesuatu yang menghalangi kamu mengingat Allah dan mencegahmu mentaatiNya. Bertalbiyahlah kamu dengan menjawab panggilan Allah dengan ikhlas, suci dan bersih dalam doa-doa kamu, seraya tetap berpegang pada tali yang kokoh.
Bertawaflah dengan hatimu bersama para malaikat sekitar Arasy, sebagaimana kamu bertawaf dengan jasadmu bersama manusia di sekitar Baitullah. Keluarlah dari kelalaianmu dan ketergelinciranmu ketika engkau keluar ke Muna dan janganlah mengharapkan apapun yang tidak halal dan tidak layak bagimu.
Akuilah segala kesalahanmu di tempat pengakuan (Arafah). Perbaharuilah perjanjianmu di depan Allah dengan mengakui keesanNya. Mendekatlah kepada Allah di Muzdalifah. Sembelihlah tengkuk hawa nafsu dan kerakusan ketika engkau menyembelih dam. Lemparkan syahwat, kerendahan, kekejian dan segala perbuatan tercela ketika melempar Jamarat.
Cukurlah aib-aib lahir dan batin ketika mencukur rambut. Tinggalkan kebiasaan menuruti kehendakmu dan masuklah kepada perlindungan ke Masjid Al-Haram. [JR]
Tulisan ini dimuat di Majalah UMMAT dalam Rubrik SUNNAH oleh Musthafa Syauqi dengan judul “Adab Haji”