Miftah Fauzi Rakhmat
Umumnya zuhud telah banyak dibicarakan dimana-mana. Baik itu zuhud yang dipraktekkan atau zuhud yang secara teoritis disampaikan. Secara teoritis zuhud itu sama dengan wara’. Zuhud berarti menahan diri, tetapi bedanya dengan wara’, ketika Imam Ali bin Abi Thalib as bertanya kepada rasulullah, “Amalan apa yang paling afdhal di bulan ramadhan.” Kata Rasulullah, “Amalan yang paling utama di bulan ramadhan adalah wara’.” Wara itu menjaga diri (menahan diri), zuhud juga begitu. Zuhud itu sama dengan wara’.
Umumnya zuhud telah banyak dibicarakan dimana-mana. Baik itu zuhud yang dipraktekkan atau zuhud yang secara teoritis disampaikan. Secara teoritis zuhud itu sama dengan wara’. Zuhud berarti menahan diri, tetapi bedanya dengan wara’, ketika Imam Ali bin Abi Thalib as bertanya kepada rasulullah, “Amalan apa yang paling afdhal di bulan ramadhan.” Kata Rasulullah, “Amalan yang paling utama di bulan ramadhan adalah wara’.” Wara itu menjaga diri (menahan diri), zuhud juga begitu. Zuhud itu sama dengan wara’.
Bedanya kalau wara itu melarang kita dari apa yang diharamkan oleh Allah Swt., zuhud justru melarang diri kita dari yang mubah, menahan diri kita dari yang memang dibolehkan Allah Swt. Buat Tuhan tidak ada persoalan apakah kita melakukannya atau tidak. Tetapi kita yang menahan diri untuk melakukannya. Itu yang disebut dengan zuhud secara harfiah, artinya secara bahasa. Sama seperti Imam Ali as. ketika beliau mengatakan, “Yang membuat para imam lebih utama dari para nabi adalah, kepada Nabi Adam diberikan semuanya tetapi yang satu perintah untuk ditahanpun itu dilanggar oleh Nabi Adam, sementara buat aku Allah izinkan berbagai macam kenikmatan dunia tapi aku larang diriku dari menikmatinya.” Beliau melakukan zuhud. Melarang dirinya dari melakukan apa yang dibolehkan Allah Swt. Dan itu kebanyakan berhubungan dengan urusan dunia.
Suatu saat Jalaluddin Rumi bercerita tentang buruk merak yang karena punya bulu yang sangat indah, ia khawatir dikejar oleh pemburu terus menerus. Lalu suatu saat ia cabuti bulu-bulunya yang indah itu. Sahabatnya melihatnya, “Apa yang kamu lakukan.” Kata burung merak itu, “Karena aku tidak bisa tentram ketika aku lewat di suatu tempat karena pemburu itu masih selalu mengintai aku. Jadi lebih baik aku cabuti bulu-buluku ini, kemudian aku selamat dan hatiku jadi lebih tentram.” Kata sahabatnya lagi, “Megapa engkau letakkan ketentramanmu itu pada bulu-bulu yang menghiasi tubuh kamu.” Nah, dihadapkan pada zuhud yang sering dihadapkan pada dunia, lawan zuhud itu biasanya dunia. Dan kadang-kadang sufi yang paling awal itu ditandai dengan kezuhudan mereka untuk menjauhi dunia. Melarang diri mereka sendiri untuk menikmati dunia. Konsep zuhud yang paling awal mungkin sebetulnya terjadi pada zaman Nabi Isa as. ketika al-khawariyyun itu (ketika Nabi Isa as diangkat oleh Allah Swt.) lalu mereka menyepi karena pengikut Nabi Isa dikejar-kejar oleh penguasa waktu itu. Akhirnya mereka menyepi ke gunung-gunung, ke puncak bukit, ke goa-goa, dan disitu hanya beribadah saja kepada Allah Swt. Itu mungkin catatan yang paling awal dalam konsep memisahkan antara zuhud dan dunia. Bahwa orang yang berzuhud itu adalah yang melepaskan keterikatan pada dunia sampai pada bentuk yang seperti itu. Dulu terjadi pada para pengikut Nabi Isa as ketika mereka dikejar-kejar oleh penguasa. Dan belakangan di zaman islam, konsep seperti itu muncul lagi ketika secara politik kaum muslimin terbagi kedalam beberapa kelompok.
Pada zaman Imam Ali bin Abi Thalib as ada menjadi pengikut imam Ali, ada yang bergabung dengan muawiyah, ada juga yang memilih untuk berada di tengah-tengah. Salah satu yang ditengah-tengah itu adalah Ibn Umar. Yang dilakukan oleh Ibn Umar, ia beribadah saja di masjid. Beliau tidak ikut perubahan sosial politik pada waktu itu. Tidak ikut Imam Ali as, tidak juga bergabung dengan Muawiyah. Akhirnya para tasawwufpun ada yang mengikuti tarekat Ibn Umar. Itu sebelum ia masuk pada tahap tarekat. Dalam buku ini (Buku Saku Tasawwuf, Haidar Baqir, Pen.) ustad Haidar membagi perjalanan tasawuf itu pada tahap zuhud, lalu ada tahap tasawuf, yang ketiga tasawuf falsafi dan yang keempat tarekat. (Itulah, pen.) Perkembangan-perkembangan tasawuf. Awalnya hanya individu-individu saja yang zuhud diantara mereka. Kemudian murid-muridnya membentuk sebuah lembaga. Institusi yang menisbatkan ajarannya kepada gurunya. Masuklah pada abad ke-6 Hijriah, tasawuf yang sifatnya lebih kepada makrifat Allah Swt. yang disebut tasawuf falsafi dan paling akhir adalah membentuk tarekat.
Pada awal sekali kemunculan tasawuf itu ditandai dengan orang-orang yang bersifat zuhud. Dan zuhud itu adalah (yang dipraktekkan pada waktu itu) memisahkan diri dari dunia. Padahal tidak selamanya zuhud itu seperti itu. Seperti dalam kisah Rumi yang disampaikan tadi, kata kawan burung merak itu, “Kenapa kamu cabuti bulu-bulumu, yang harus kamu lakukan itu adalah meninggalkan keterikatan kamu pada bulu yang indah itu.”
Suatu saat Jalaluddin Rumi bercerita tentang buruk merak yang karena punya bulu yang sangat indah, ia khawatir dikejar oleh pemburu terus menerus. Lalu suatu saat ia cabuti bulu-bulunya yang indah itu. Sahabatnya melihatnya, “Apa yang kamu lakukan.” Kata burung merak itu, “Karena aku tidak bisa tentram ketika aku lewat di suatu tempat karena pemburu itu masih selalu mengintai aku. Jadi lebih baik aku cabuti bulu-buluku ini, kemudian aku selamat dan hatiku jadi lebih tentram.” Kata sahabatnya lagi, “Megapa engkau letakkan ketentramanmu itu pada bulu-bulu yang menghiasi tubuh kamu.” Nah, dihadapkan pada zuhud yang sering dihadapkan pada dunia, lawan zuhud itu biasanya dunia. Dan kadang-kadang sufi yang paling awal itu ditandai dengan kezuhudan mereka untuk menjauhi dunia. Melarang diri mereka sendiri untuk menikmati dunia. Konsep zuhud yang paling awal mungkin sebetulnya terjadi pada zaman Nabi Isa as. ketika al-khawariyyun itu (ketika Nabi Isa as diangkat oleh Allah Swt.) lalu mereka menyepi karena pengikut Nabi Isa dikejar-kejar oleh penguasa waktu itu. Akhirnya mereka menyepi ke gunung-gunung, ke puncak bukit, ke goa-goa, dan disitu hanya beribadah saja kepada Allah Swt. Itu mungkin catatan yang paling awal dalam konsep memisahkan antara zuhud dan dunia. Bahwa orang yang berzuhud itu adalah yang melepaskan keterikatan pada dunia sampai pada bentuk yang seperti itu. Dulu terjadi pada para pengikut Nabi Isa as ketika mereka dikejar-kejar oleh penguasa. Dan belakangan di zaman islam, konsep seperti itu muncul lagi ketika secara politik kaum muslimin terbagi kedalam beberapa kelompok.
Pada zaman Imam Ali bin Abi Thalib as ada menjadi pengikut imam Ali, ada yang bergabung dengan muawiyah, ada juga yang memilih untuk berada di tengah-tengah. Salah satu yang ditengah-tengah itu adalah Ibn Umar. Yang dilakukan oleh Ibn Umar, ia beribadah saja di masjid. Beliau tidak ikut perubahan sosial politik pada waktu itu. Tidak ikut Imam Ali as, tidak juga bergabung dengan Muawiyah. Akhirnya para tasawwufpun ada yang mengikuti tarekat Ibn Umar. Itu sebelum ia masuk pada tahap tarekat. Dalam buku ini (Buku Saku Tasawwuf, Haidar Baqir, Pen.) ustad Haidar membagi perjalanan tasawuf itu pada tahap zuhud, lalu ada tahap tasawuf, yang ketiga tasawuf falsafi dan yang keempat tarekat. (Itulah, pen.) Perkembangan-perkembangan tasawuf. Awalnya hanya individu-individu saja yang zuhud diantara mereka. Kemudian murid-muridnya membentuk sebuah lembaga. Institusi yang menisbatkan ajarannya kepada gurunya. Masuklah pada abad ke-6 Hijriah, tasawuf yang sifatnya lebih kepada makrifat Allah Swt. yang disebut tasawuf falsafi dan paling akhir adalah membentuk tarekat.
Pada awal sekali kemunculan tasawuf itu ditandai dengan orang-orang yang bersifat zuhud. Dan zuhud itu adalah (yang dipraktekkan pada waktu itu) memisahkan diri dari dunia. Padahal tidak selamanya zuhud itu seperti itu. Seperti dalam kisah Rumi yang disampaikan tadi, kata kawan burung merak itu, “Kenapa kamu cabuti bulu-bulumu, yang harus kamu lakukan itu adalah meninggalkan keterikatan kamu pada bulu yang indah itu.”
Ada kisah seorang sufi Abu Yazid al-Bustami kalau saya tidak salah, suatu saat ia merasa bahwa menjadi muslim yang sejati, jadi sufi yang sesungguhnya adalah meninggalkan dunia. Dari mana kemudian ia dapat pemahaman bahwa seorang zahid itu harus meninggalkan dunia. Itu karena dalam perjalanan ia ditinggalkan kafilahnya, ia sudah kehilangan bekal. | Kata guru sufi itu, “Kenapa kamu memilih untuk menjadi burung yang patah sayapnya? Kenapa kamu tidak memilih burung yang satunya lagi, yang memberikan rezeki Tuhan pada burung yang patah sayapnya tadi.” |
Tiba-tiba ia sampai disuatu tempat dan ia melihat burung yang sudah patah sayapnya. Kemudian ada burung lain yang datang kepada burung yang patah sayapnya tadi dan menjatuhkan makanan yang dia pegang di paruhnya. Dijatuhkan makanan pada burung yang menggelepar-gelepar sekarat mau mati itu, dan burung itu menemukan makanannya. Kata sufi itu, “Kalau Tuhan saja memberikan rezeki pada burung yang ditengah padang pasir patah sayapnya, maka apalagi seorang hamba yang mengkhususkan hidupnya hanya untuk dunia saja.” Jadi dia memilih untuk tidak mendekati dunia. Namun ia bertemu dengan guru sufi yang lainnya, ketika ditanya kenapa ia memilih sufi yang seperti itu. Lalu ia mencerikan kisahnya, ia menemukan burung yang diberi rezeki oleh Allah walaupun ia sudah dicelakai oleh kawan-kawannya. Kata guru sufi itu, “Kenapa kamu memilih untuk menjadi burung yang patah sayapnya? Kenapa kamu tidak memilih burung yang satunya lagi, yang memberikan rezeki Tuhan pada burung yang patah sayapnya tadi.” Jadi pada burung itupun ada dua, yang kita ambil apakah misalnya kita beribadah kepada Tuhan lalu menjadi orang yang acuh pada perkembangan sesama bahkan tidak peduli dengan perkembangan disekitar kita. Hanya kepada Allah Swt. saja. Dan rezeki kita pasti dicapai. Tapi kata guru sufi itu, kenapa kita tidak memilih burung yang kedua, yang memilih untuk memberikan kelebihan rezekinya dan menyalurkannya pada burung-burung yang patah sayapnya.
Mungkin itu dipertentangkan antara konsep zuhud yang murni hanya beribadah kepada Allah Swt dan zuhud yang sesungguhnya. Zuhud yang sesungguhnya itu adalah zuhud yang beribadah kepada Allah Swt dengan berbagai macam cara tanpa melepaskan diri dari dunia. Laisa al-zaahidu an-laa yamliku syaia’, bal yuzaahidu an-laa yamlikuhu syaiu’, kata Imam Ali. (Bukanlah seorang zahid itu adalah orang yang tidak memiliki apapun, tapi seorang zahid itu ialah yang hatinya tidak dimiliki oleh apapun). Bukan berarati kita jadi zahid lantas kita hidup miskin. Orang yang zahid itu adalah orang yang hatinya tidak dimiliki oleh apapun.
Dan cara mengukur apakah kita sudah termasuk golongan orang yang zahid atau tidak, yang pertama adalah: apakah kita punya kecintaan terhadap sesuatu. Seorang yang zahid kecintaan itu kepada Allah Swt, tetapi semua kita itu (hati kita itu) terikat pada sesuatu, kita mencintai sesuatu. Kadang-kadang ada juga kecintaan pada sesuatu itu tidak kita pedulikan. Malah kita tidak punya sesuatu yang kita cintai dengan sungguh-sungguh. Dan saya termasuk orang yang tidak ingin mencintai sesuatu dengan sungguh-sungguh. Kecintaan saya mungkin lebih bersifat sebatas ibadah saja. Kalau saya mencintai isteri saya, mencintai anak saya, mencintai keluarga saya, itu saya takut untuk mencintai mereka dengan sungguh-sungguh. Karena ketika hati kita sudah terikat dengan cinta yang sesungguhnya maka Allah Ta’ala akan menguji kita berdasarkan kecintaan kita itu. Dan itu ujian yang pasti diberikan kepada siapapun, karena orang yang zahid hanya pasti akan mengikatkan kecintaannya itu kepada Allah Swt.
Saya punya kawan (tetangga), ia mendapat mobil baru dan memperlakukan mobil itu dengan baik. Setiap hari ia mencucinya dua kali. Dan setiap ada goresan sedikit saja, hatinya itu tidak tentram. Artinya dia tidak enak kalau melihat mobilnya terkena goresan sedikit saja. Akhirnya dibawa lagi ke dialernya karena masih ada asuransi untuk menutupi goresan itu. Dan saya bilang, “Kamu akan diuji lewat mobil kamu.” Karena dia memperlakukan mobil itu dengan begitu rupa. Dia bilang, “Saya punya mobil ini, saya akan urus baik-baik, dan saya akan perlakukan itu seolah-olah saya akan memakai mobil ini untuk selama-lamanya.” Dan saya bilang, “Kita akan diuji berdasarkan sesuatu yang kita cintai.” Tau-tau dia kasih SMS sama saya bahwa ketika mobilnya itu penuh dengan debu. Anak-anaknya menggambar dimobil itu. Karena menggambarnya diatas debu maka tergoreslah mobilnya itu dengan debu itu. Dibawa lagi mobil itu ke asuransi. Terakhir, mungkin sekitar seminggu yang lalu dia SMS lagi. Persis di depan rumah dia mobil itu kehilangan CD yang sangat mahal yang ia simpan disistu. Dan alat sterio yang ada dimobil itu dibobol oleh maling. Dan saya bilang, “Karena mungkin hati kita lekatkan kepada sesuatu yang kita cintai itu.”
Dan saya takut untuk mencitai sesuatu berlebihan. Mungkin juga tidak begitu berlebihan menurut kita. Tetapi kalau kita punya sesuatu yang kita anggap berharga, sesuatu yang hati kita lekatkan disitu, Allah Ta’ala akan menguji kita disistu. Bapak-bapak dan ibu-ibupun dapat praktekkan. Coba saja kita cintai suatu barang dengan berlebihan, Allah Ta’ala akan menguji kita. Dan yang paling tidak saya inginkan adalah kalau Allah Ta’ala menguji saya lewat orang-orang yang saya cintai. Jadi saya mencintainya antara ingin mencintai yang sesungguhnya sama dengan kekhawatiran saya takut diuji dengan sesuatu yang saya cintai.
Saya itu sering main bola. Dan kalau main bola biasanya cidera dikaki. Ada satu bagian pada kaki saya itu yang mulus. Sama sekali tidak terkena cidera. Saya takjub juga. Dan selama ini tidak saya perhatikan. Setelah saya perhatikan, esok harinya main bola saya cidera kena persis pada bagian (kaki yang tidak cidera, Pen.) tersebut. Seolah-olah Tuhan itu memberikan peringatan kepada saya, mungkin selama ini tidak mensyukuri bagian kaki yang tidak cidera tadi. Makanya agak khawatir kalau kita mendapat rezeki dari Allah Ta’ala, kemudian kita anggap atau kita pusatkan sepenuhnya pada rezeki dari Tuhan itu, Tuhan akan menguji kita. Karena pada saat ketika kita melakukan itu, kita tidak melakukan kezuhudan. Kita tidak menjadi orang yang zahid. Kita sudah melekatkan hati kita pada kepemilikan terhadap sesuatu. Seoranga zahid adalah ia yang hatinya tidak dimiliki oleh apapun. Tapi bukan berarti ia tidak bisa memiliki apapun.
Bab yang kedua tentang Keadilan Sosial yang disuguhkan panitia. Dalam buku Ustad Haidar, ia tertulis disini ialah Zuhud dan Cinta pada Sesama. Bahwa zuhud itu ditandai dengan kecintaan pada sesama. Dalam buku Ustad Haidar ini ia tulis zuhud dalam tiga bagian, zuhud I, zuhud II, zuhud dan kecintaan pada sesama. Pada bagian zuhud yang pertama beliau bercerita tentang konsep seorang zahid yang beribadah kepada Tuhan dan meninggalkan dunia. Pada bagian zuhud yang kedua beliau bercerita tentang para sufi yang justru hidup kaya raya. Tentang sufi-sufi yang kita kenal sekaranag ini, Fariruddin Attar, nama para sufi itu justru diambil dari profesi dia. Attar itu punya farmasi. Pekerjaan dia itu membuat wewangian. Attar itu artinya tukang yang membuat wewangian. Junaid al-Bahgdadi dikenal sebagai al-Qawariri, penjual pecah belah. Lalu al-Hallaj, yang terkenal dengan anaa al-haq-nya itu, mencari nafkah sebagai pemintal kapas, al-khazaz. Ada lagi Sari al-Saqati, penjual rempah-rempah.
Lalu disebutkanlah oleh ustad Haidar sebuah kisah ketika ada seorang sufi punya guru. Lalu si Sufi itu ingin berangkat ke Mursia. Kata gurunya itu, “Aku punya guru di Mursia, sampaikan salamku padanya dan berikanlah padaku nasehat. Tolong sampaikan kepada guru itu untuk memberikan kepadaku nasehat.” Berangkatlah murid itu. Ia cari guru itu yang bernama Syaikhul Akbar. Dan hampir semua orang kenal pada Syaikhul Akbar. Ditunjukkanlah rumahnya. Rumahnya sangat mewah. Semua orang di Tursia kenal sama dia. Agak bingung juga si Sufi itu karena ternyata guru gurunya dia itu adalah orang yang kaya raya. Dan takjublah dia karena gurunya yang dari tempat asal dia itu hidup sangat miskin. Ketika datang ke tempat Syaikhul Akbar itu dia sampaikan tujuan-tujuan dia, dan dia ceritakan salam gurunya, dia juga mengatakan agar Syaikhul Akbar itu memberikan nasehat kepada dia. Lalu kata gurunya itu, “Nasehat aku bagi gurumu itu adalah jangan terlalu memikirkan dunia.” Murid itu tersinggung, karena gurunya (Syaikhul Akbar, Pen.) hidup kaya raya, tapi kepada gurunya yang hidup miskin ia katakan untuk tidak terlalu memikirkan dunia. Ia sampaikan pesan itu pada gurunya yang dikampung dia, dan gurunya itu berkata, “Benar apa yang ia sampaikan. Jangan terlalu memikirkan dunia. Belum tentu orang miskin itu bisa berzuhud.” Karena ia hidup miskin, lalu ia memikirkan dunia. Pada saat yang sama zuhud itupun hilang dari dirinya. Sementara gurunya itu, ia hidup kaya raya, tapi hatinya tidak terikat pada dunia. Jadi yang membedakan seorang zahid yang sesungguhnya dengan zahid yang tidak adalah seorang zahid itu tidak harus meninggalkan dunia, tidak harus tidak berusaha, tidak harus kemudian sampai kaya.
Imam Ali suatu saat pernah mendatangi seorang sahabatnya, A’la bin Ziyad kalau saya tidak salah. Dan rumahnya besar. Kata Imam Ali, “Untuk apa rumah sebesar ini. Kamu tinggal dirumah sebesar ini?” dan A’la bin Ziyad tidak bisa menjawab perkataan Imam Ali. Muka dia merah padam mendengar ucapan Imam Ali. Sebelum dia bisa menyampaikan sesuatu kepada Imam Ali, beliau menambahkan, “Tapi kalau kamu ingin rumah kamu itu tidak hanya besar di dunia, tapi juga besar di akhirat, gunakan rumah kamu itu untuk amal shaleh.” Jadi Imam Ali tidak melarang orang punya rumah yang besar walaupun pada awalnya beliau tanya, untuk apa rumah sebesar ini. Tapi kemudian Imam Ali sendiri menjawab, kalau kamu ingin rumah kamu itu tidak hanya besar di dunia, tapi juga besar di akhirat, gunakan rumah kamu itu untuk amal shaleh. Tidak ada larangan khusus dari para Imam juga.
Tetapi yang disebut zuhud adalah kita memilih diri kita sendiri, menjaga diri kita, menahan diri kita dari yang dibolehkan Allah Ta’ala. Hal itu boleh kita nikmati, tapi kita bikin batasan-batasan sendiri. Misalnya, kenikmatan yang satu itu tidak akan aku nikmati. Ada banyak berbagai kenikmatan dunia yang dibolehkan dalam islam. Tapi kemudian kita membatasi diri kita sendiri dari tidak menikmati kenikmatan-kenikmatan dunia. Itulah yang disebut dengan zuhud. Dan definisinya kemudian kembali kepada diri kita, sangat subjektif. Ketika kita bisa membatasi dari berbagai kenikmatan, tergantung kita sendiri, terserah kita, kenikmatan yang mana yang kita batasi. Kenikmatan yang mana yang kemudian kita tidak mengizinkan diri kita untuk menikmatinya walaupun Allah Ta’ala memberikan izin untuk kita nikmati.
Mungkin itu dipertentangkan antara konsep zuhud yang murni hanya beribadah kepada Allah Swt dan zuhud yang sesungguhnya. Zuhud yang sesungguhnya itu adalah zuhud yang beribadah kepada Allah Swt dengan berbagai macam cara tanpa melepaskan diri dari dunia. Laisa al-zaahidu an-laa yamliku syaia’, bal yuzaahidu an-laa yamlikuhu syaiu’, kata Imam Ali. (Bukanlah seorang zahid itu adalah orang yang tidak memiliki apapun, tapi seorang zahid itu ialah yang hatinya tidak dimiliki oleh apapun). Bukan berarati kita jadi zahid lantas kita hidup miskin. Orang yang zahid itu adalah orang yang hatinya tidak dimiliki oleh apapun.
Dan cara mengukur apakah kita sudah termasuk golongan orang yang zahid atau tidak, yang pertama adalah: apakah kita punya kecintaan terhadap sesuatu. Seorang yang zahid kecintaan itu kepada Allah Swt, tetapi semua kita itu (hati kita itu) terikat pada sesuatu, kita mencintai sesuatu. Kadang-kadang ada juga kecintaan pada sesuatu itu tidak kita pedulikan. Malah kita tidak punya sesuatu yang kita cintai dengan sungguh-sungguh. Dan saya termasuk orang yang tidak ingin mencintai sesuatu dengan sungguh-sungguh. Kecintaan saya mungkin lebih bersifat sebatas ibadah saja. Kalau saya mencintai isteri saya, mencintai anak saya, mencintai keluarga saya, itu saya takut untuk mencintai mereka dengan sungguh-sungguh. Karena ketika hati kita sudah terikat dengan cinta yang sesungguhnya maka Allah Ta’ala akan menguji kita berdasarkan kecintaan kita itu. Dan itu ujian yang pasti diberikan kepada siapapun, karena orang yang zahid hanya pasti akan mengikatkan kecintaannya itu kepada Allah Swt.
Saya punya kawan (tetangga), ia mendapat mobil baru dan memperlakukan mobil itu dengan baik. Setiap hari ia mencucinya dua kali. Dan setiap ada goresan sedikit saja, hatinya itu tidak tentram. Artinya dia tidak enak kalau melihat mobilnya terkena goresan sedikit saja. Akhirnya dibawa lagi ke dialernya karena masih ada asuransi untuk menutupi goresan itu. Dan saya bilang, “Kamu akan diuji lewat mobil kamu.” Karena dia memperlakukan mobil itu dengan begitu rupa. Dia bilang, “Saya punya mobil ini, saya akan urus baik-baik, dan saya akan perlakukan itu seolah-olah saya akan memakai mobil ini untuk selama-lamanya.” Dan saya bilang, “Kita akan diuji berdasarkan sesuatu yang kita cintai.” Tau-tau dia kasih SMS sama saya bahwa ketika mobilnya itu penuh dengan debu. Anak-anaknya menggambar dimobil itu. Karena menggambarnya diatas debu maka tergoreslah mobilnya itu dengan debu itu. Dibawa lagi mobil itu ke asuransi. Terakhir, mungkin sekitar seminggu yang lalu dia SMS lagi. Persis di depan rumah dia mobil itu kehilangan CD yang sangat mahal yang ia simpan disistu. Dan alat sterio yang ada dimobil itu dibobol oleh maling. Dan saya bilang, “Karena mungkin hati kita lekatkan kepada sesuatu yang kita cintai itu.”
Dan saya takut untuk mencitai sesuatu berlebihan. Mungkin juga tidak begitu berlebihan menurut kita. Tetapi kalau kita punya sesuatu yang kita anggap berharga, sesuatu yang hati kita lekatkan disitu, Allah Ta’ala akan menguji kita disistu. Bapak-bapak dan ibu-ibupun dapat praktekkan. Coba saja kita cintai suatu barang dengan berlebihan, Allah Ta’ala akan menguji kita. Dan yang paling tidak saya inginkan adalah kalau Allah Ta’ala menguji saya lewat orang-orang yang saya cintai. Jadi saya mencintainya antara ingin mencintai yang sesungguhnya sama dengan kekhawatiran saya takut diuji dengan sesuatu yang saya cintai.
Saya itu sering main bola. Dan kalau main bola biasanya cidera dikaki. Ada satu bagian pada kaki saya itu yang mulus. Sama sekali tidak terkena cidera. Saya takjub juga. Dan selama ini tidak saya perhatikan. Setelah saya perhatikan, esok harinya main bola saya cidera kena persis pada bagian (kaki yang tidak cidera, Pen.) tersebut. Seolah-olah Tuhan itu memberikan peringatan kepada saya, mungkin selama ini tidak mensyukuri bagian kaki yang tidak cidera tadi. Makanya agak khawatir kalau kita mendapat rezeki dari Allah Ta’ala, kemudian kita anggap atau kita pusatkan sepenuhnya pada rezeki dari Tuhan itu, Tuhan akan menguji kita. Karena pada saat ketika kita melakukan itu, kita tidak melakukan kezuhudan. Kita tidak menjadi orang yang zahid. Kita sudah melekatkan hati kita pada kepemilikan terhadap sesuatu. Seoranga zahid adalah ia yang hatinya tidak dimiliki oleh apapun. Tapi bukan berarti ia tidak bisa memiliki apapun.
Bab yang kedua tentang Keadilan Sosial yang disuguhkan panitia. Dalam buku Ustad Haidar, ia tertulis disini ialah Zuhud dan Cinta pada Sesama. Bahwa zuhud itu ditandai dengan kecintaan pada sesama. Dalam buku Ustad Haidar ini ia tulis zuhud dalam tiga bagian, zuhud I, zuhud II, zuhud dan kecintaan pada sesama. Pada bagian zuhud yang pertama beliau bercerita tentang konsep seorang zahid yang beribadah kepada Tuhan dan meninggalkan dunia. Pada bagian zuhud yang kedua beliau bercerita tentang para sufi yang justru hidup kaya raya. Tentang sufi-sufi yang kita kenal sekaranag ini, Fariruddin Attar, nama para sufi itu justru diambil dari profesi dia. Attar itu punya farmasi. Pekerjaan dia itu membuat wewangian. Attar itu artinya tukang yang membuat wewangian. Junaid al-Bahgdadi dikenal sebagai al-Qawariri, penjual pecah belah. Lalu al-Hallaj, yang terkenal dengan anaa al-haq-nya itu, mencari nafkah sebagai pemintal kapas, al-khazaz. Ada lagi Sari al-Saqati, penjual rempah-rempah.
Lalu disebutkanlah oleh ustad Haidar sebuah kisah ketika ada seorang sufi punya guru. Lalu si Sufi itu ingin berangkat ke Mursia. Kata gurunya itu, “Aku punya guru di Mursia, sampaikan salamku padanya dan berikanlah padaku nasehat. Tolong sampaikan kepada guru itu untuk memberikan kepadaku nasehat.” Berangkatlah murid itu. Ia cari guru itu yang bernama Syaikhul Akbar. Dan hampir semua orang kenal pada Syaikhul Akbar. Ditunjukkanlah rumahnya. Rumahnya sangat mewah. Semua orang di Tursia kenal sama dia. Agak bingung juga si Sufi itu karena ternyata guru gurunya dia itu adalah orang yang kaya raya. Dan takjublah dia karena gurunya yang dari tempat asal dia itu hidup sangat miskin. Ketika datang ke tempat Syaikhul Akbar itu dia sampaikan tujuan-tujuan dia, dan dia ceritakan salam gurunya, dia juga mengatakan agar Syaikhul Akbar itu memberikan nasehat kepada dia. Lalu kata gurunya itu, “Nasehat aku bagi gurumu itu adalah jangan terlalu memikirkan dunia.” Murid itu tersinggung, karena gurunya (Syaikhul Akbar, Pen.) hidup kaya raya, tapi kepada gurunya yang hidup miskin ia katakan untuk tidak terlalu memikirkan dunia. Ia sampaikan pesan itu pada gurunya yang dikampung dia, dan gurunya itu berkata, “Benar apa yang ia sampaikan. Jangan terlalu memikirkan dunia. Belum tentu orang miskin itu bisa berzuhud.” Karena ia hidup miskin, lalu ia memikirkan dunia. Pada saat yang sama zuhud itupun hilang dari dirinya. Sementara gurunya itu, ia hidup kaya raya, tapi hatinya tidak terikat pada dunia. Jadi yang membedakan seorang zahid yang sesungguhnya dengan zahid yang tidak adalah seorang zahid itu tidak harus meninggalkan dunia, tidak harus tidak berusaha, tidak harus kemudian sampai kaya.
Imam Ali suatu saat pernah mendatangi seorang sahabatnya, A’la bin Ziyad kalau saya tidak salah. Dan rumahnya besar. Kata Imam Ali, “Untuk apa rumah sebesar ini. Kamu tinggal dirumah sebesar ini?” dan A’la bin Ziyad tidak bisa menjawab perkataan Imam Ali. Muka dia merah padam mendengar ucapan Imam Ali. Sebelum dia bisa menyampaikan sesuatu kepada Imam Ali, beliau menambahkan, “Tapi kalau kamu ingin rumah kamu itu tidak hanya besar di dunia, tapi juga besar di akhirat, gunakan rumah kamu itu untuk amal shaleh.” Jadi Imam Ali tidak melarang orang punya rumah yang besar walaupun pada awalnya beliau tanya, untuk apa rumah sebesar ini. Tapi kemudian Imam Ali sendiri menjawab, kalau kamu ingin rumah kamu itu tidak hanya besar di dunia, tapi juga besar di akhirat, gunakan rumah kamu itu untuk amal shaleh. Tidak ada larangan khusus dari para Imam juga.
Tetapi yang disebut zuhud adalah kita memilih diri kita sendiri, menjaga diri kita, menahan diri kita dari yang dibolehkan Allah Ta’ala. Hal itu boleh kita nikmati, tapi kita bikin batasan-batasan sendiri. Misalnya, kenikmatan yang satu itu tidak akan aku nikmati. Ada banyak berbagai kenikmatan dunia yang dibolehkan dalam islam. Tapi kemudian kita membatasi diri kita sendiri dari tidak menikmati kenikmatan-kenikmatan dunia. Itulah yang disebut dengan zuhud. Dan definisinya kemudian kembali kepada diri kita, sangat subjektif. Ketika kita bisa membatasi dari berbagai kenikmatan, tergantung kita sendiri, terserah kita, kenikmatan yang mana yang kita batasi. Kenikmatan yang mana yang kemudian kita tidak mengizinkan diri kita untuk menikmatinya walaupun Allah Ta’ala memberikan izin untuk kita nikmati.